Saat di kantor, sebisa mungkin aku menjaga jarak dan memberi batasan dengan Hatalla—meski Hatalla lebih banyak melanggarnya. Tapi, seingatku, aku nggak pernah melanggar batasan yang sudah aku buat soal hubungan dan profesionalitas selama kami bekerja.

Jadi, aku nggak bisa dengan mudah untuk menuruti dan memahami apa yang dimaksud Pak Wijaya barusan.

Tapi, pada akhirnya aku cuma bisa menganggukan kepala—mengiakan segala ucapan Pak Wijaya untuk sekarang.

"Kamu kepikiran apa?" Dan ternyata, topik pembicaraan kami kembali ke sana. "Jarang ngeliat kamu sampai nggak fokus begitu. Nggak perlu minta maaf, Ayah cuma khawatir soalnya nggak biasanya kamu begini. Kamu nggak lagi sakit, 'kan, Nak?" tanyanya dengan nada lembut—mirip sekali dengan cara bicara Hatalla kepadaku.

Senyumku dengan refleks mengembang, "Saya baik-baik saja, Pak."

Dan sepertinya jawabanku barusan masih belum memuaskan keingintahuan Pak Wijaya, karena setelah itu beliau bertanya lagi, "Syukurlah. Terus, kamu kenapa? Kepikiran apa? Masalah keluargamu?" tanya Ayah, kali ini beliau bahkan menjauhkan punggungnya dari badan kursi agar bisa menatapku dekat. "Ini ada kaitannya soal pernyataan Frederic Simons semalam, Nak? Nggak pa-pa, cerita aja sama Ayah." Pak Wijaya menambahkan senyum di akhir kalimatnya.

Sebenarnya, sebelum ini, Ibu Ainur sudah lebih dulu menghubungiku. Pagi tadi, beliau menanyakan bagaimana keadaanku, apakah aku mau dijemput dan mau makan bubur bersamanya yang sudah aku ketahui alasannya.

Hatalla juga mengirimkan pesan dan voice note, menanyakan dan memastikan kalau keadaanku baik-baik saja.

Dan, sekarang Pak Wijaya gantian yang menanyaiku.

Will others trust me when I say I'm fine? Will others perceive me as cruel and uncaring if I say I no longer feel anything?

Karena sebenarnya perasaan seperti itulah yang aku rasakan sekarang.

Semalam aku menonton press conference yang dibuat Frederic Simons, bukan sesuatu yang baru karena press conference itu kembali dibuat untuk menekankan bahwa Frederic Simons tidak memiliki kaitan dan hubungan apa pun dengan rumor yang ditujukan Mita dan keluarga Pramana kepadanya, bahwa dia akan mengancam Mita dan keluarga Pramana kalau masih bersikeras mengeluarkan rumor-rumor tidak benar mengenai dirinya yang berpotensi menyakiti keluarganya.

"I want to clarify once more that the rumor that I was married and almost had a child is false. What is being spread is a terrible crime that grieves my entire family, particularly my wife and children."


Itu yang dikatakan Frederic Simons di depan kamera wartawan, ditemani kertas yang dibacanya dan raut wajah murka yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

Kami memang nggak pernah bertemu secara langsung sebenarnya, aku cuma beberapa kali melihat video dan fotonya secara tidak sengaja—dan yang terakhir, kami sempat bertemu di Singapore—dan aku belum pernah melihat raut semacam itu melekat di wajah Frederic Simons.

Kemungkinan dia sudah pusing dan merasa terpojok dengan rumor yang dibuat mantan pasangannya dulu. Atau kemungkinan besarnya, Frederic Simons mulai dirugikan dan dipaksa membuat pernyataan sebelum masalahnya akan semakin membesar.

Apa pun alasannya, yang pasti cuma satu—aku kembali dihilangkan dari kehidupannya.

Anehnya, meskipun aku merasa sakit hati, tidak sulit untuk mengulas senyum di depan Pak Wijaya sekarang. "Jujur, saya malah nggak kepikiran soal itu sama sekali. I've watched it, and I don't feel anything—perhaps because he never acknowledged me in the first place, so I readily accepted what he said to the press last night."

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now