11. Berpisah?

Mulai dari awal
                                    

"Iya lah dia kan anaknya ege!"

"Tapi, ah au dah terus sekarang gimana?"

"Ya macam tu lah, aku pun tak tau."

Suasana di dalam mobil begitu hening, tak ada yang mengeluarkan suaranya. Sang ayah tengah fokus menyetir di depan sana dengan sang kakak sulung yang duduk di sampingnya. Keduanya nampak terdiam, namun dapat Rigel lihat ada amarah di wajah ayah dan mas nya itu. Sedangkan Rigel sendiri juga hanya bisa diam seraya menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Hingga tak lama, ia mengernyit heran saat jalan yang di lalui oleh sang ayah adalah jalan menuju rumah sakit, bukan jalan menuju rumah.

"Ini bukan jalan pulang, kita mau ke rumah sakit?" tanya Rigel namun ayah dan sang kakak tak langsung menjawab.

"Iya Rigel tau, Rigel udah buat ayah sama mas Aka marah tapi seengganya jawab pertanyaan Rigel, kita mau ke rumah sakit? Kalau iya mau apa kita kesana?" tanyanya lagi saat sang ayah maupun sang kakak tak kunjung menjawab.

"Orion ada disana, dan dia mau ketemu kamu," jawab Alaska singkat, padat dan jelas namun mampu membuat Rigel tertegun.

"Orion di rumah sakit? K-Kenapa?" lirih Rigel.

"Kamu tuh bisa ga sih sekali aja ngertiin kondisi, kakak kamu? Kamu tau jelas kalau kondisi Orion itu berbeda dengan kamu dek, maksudnya Orion ga sesehat kamu, ada bom waktu dalam tubuhnya yang kapanpun bisa meledak tanpa  kita tau. Emangnya kamu mau kalau bom itu tiba-tiba meledak gitu aja?" ucap Alaska membuat adik bungsunya bungkam seketika.

"Kali ini ayah bener-bener kecewa sama kamu dek," sang ayah akhirnya ikut bersuara saat tanpa sadar mobil sudah berada di area parkir rumah sakit.

"Kenapa sih kamu ga pernah mau dengerin ayah atau kakak-kakak yang lain? Bahkan Orion sekalipun ga pernah kamu dengerin. Kamu tau kita tuh khawatir sama kamu tapi kenapa kamu kaya yang ga ngerti? Kamu bukan anak kecil lagi Rigel, harusnya kamu tau mana yang mana yang benar dan mana yang salah! Bisa ga berhenti berantem kaya gitu? Kami ga mau kamu kenapa-kenapa, sekarang emang cuma babak belur, besok besok apalagi? Kamu mau mati konyol karna di keroyok sama anak-anak berandalan itu? Kapan sih ngertinya, dek? Ayah harus gimana lagi?" dapat Rigel dengar ada nada keputus asaan dari ucapan ayahnya.

"Maafin Rigel yah, mas.." Rigel tak berani membela diri karena ia akui kali ini ia salah. Meskipun bukan dirinya yang memulai keributan terlebih dahulu tapi seharusnya Rigel sebagai orang waras bisa menghindar, seharusnya ia tak terpancing oleh Marcel.

"Sekarang minta maaf, terus nanti? Kamu lakuin lagi gitu?" celetuk Alaska yang di gelengi pelan oleh Rigel.

"Sekarang kamu ikut ayah sama mas Aka temuin Orion, dia khawatir banget sama kamu," ucap Gibran tegas.

Tak ada yang bisa Rigel lakukan lagi selain menurut. Lantas ketiganya pun turun dari mobil lalu berjalan bersama memasuki area gedung rumah sakit, tentu dengan Rigel yang berjalan di belakang ayah dan kakaknya seraya menunduk dalam diam. Pikirannya terus tertuju pada sang kakak kembar,  rasa khawatir, takut, panik dan gelisah bercampur menyelimuti hatinya.

"Yah, mas.. t-tapi Ori– kakak Rion baik-baik aja 'kan?" tanya Rigel memberanikan diri menanyakan perihal kondisi sang kakak kembar.

"Semoga," jawab singkat sang mas.

Sepanjang perjalanan menuju kamar rawat Orion tak ada yang mengeluarkan suaranya lagi. Rigel menghembuskan napas lelah, ayah dan kakaknya benar-benar memberikannya silent treatment. Hingga langkah ketiganya pun sampai di kamar rawat khusus pasien VVIP. Dapat mereka lihat di luar ruangan sana sudah ada Nadine, Aletta, Kavin dan Zayn yang sepertinya tengah menunggu kedatangan Gibran, Alaska dan si bungsu Rigel.

•What If Orion & Rigel Live Together•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang