Gue mengangguk, sekali lagi gue juga bilang kalau Ayah jarang sekali mau ikut campur masalah pribadi gue.

"I won't let you feel this way again, Yah." Lagi, gue nggak punya cara lain supaya bisa membuat situasi di antara gue dan Ayah bisa sedikit membaik.

Sayangnya, gue sempat lupa siapa Ayah gue. "Caranya? Kamu pikir segampang itu setelah Ayah tahu semuanya?" tanyanya dengan tatapan tajamnya yang mengarah lurus ke gue. "Kecewanya Ayah ke kamu itu sudah nggak bisa dihitung seberapa besarnya, La... Ayah belum pernah merasa sekecewa ini sama kamu. Bayangkan, Reni cuma punya kamu dan kamu yang harusnya jadi seseorang yang melindungi dia, kok, ya, bisa-bisanya..." Ayah lagi-lagi nggak meneruskan ucapannya, hanya gelengan kepala yang dia tunjukkan untuk memperjelas kalimatnya yang terpotong barusan.

Selain malu dan juga kecewa, gue nggak tahu harus mendeskripsikan perasaan semacam apa yang gue rasakan sekarang.

"Maaf, Yah...," ucap gue sekali lagi.

"Yang harusnya menerima permintaan maafmu itu Ireni, bukan Ayah!" Suara tegas dan keras Ayah sempat membuat gue berjingkat karena kaget. "I never imagined that we would have this argument. This is suddenly making my head spin!" Ayah kelihatan memijat pelipisnya sambil meringis beberapa kali.

Ini nggak baik, kan?

Gue buru-buru mengambilkan Ayah gelas dan satu botol air putih yang sebelumnya diletakkan Deryl di meja nakas, menuangnya dan memberikannya ke Ayah. "Apa kita perlu ke rumah sakit? Apa Ayah punya obat atau vitamin yang harus diminum?" tanya gue sambil menatap ke arah sekitar.

Ayah mengibaskan tangannya, menyuruh gue duduk lagi. "Makin pusing Ayah ngeliat kamu, La. Duduk!"

Karena posisinya gue yang salah di sini, gue nggak bisa banyak mengeluh atau mengomel. Selain duduk dan menuruti perintah Ayah, gue nggak berani melakukan hal lain yang kemungkinan membuat Ayah semakin emosi.

"Satu tahun." Hah? Kening gue berkerut, gue sampai memajukan kursi agar bisa mendengar ucapan Ayah dengan jelas. "Pekerjaan rumahmu luar biasa banyak, dan Ayah cuma bisa kasih waktu satu tahun. Ireni jadi pertimbangan paling besar kenapa Ayah cuma bisa kasih kamu waktu satu tahun," katanya meracau nggak jelas.

Ngomongin apa, sih?

Gue sengaja diam, nggak mengatakan apa-apa karena gue butuh mendengarkan agar gue bisa menangkap dengan jelas apa yang dikatakan Ayah barusan.

Masih sambil memijat pelipisnya, Ayah kembali melanjutkan. "During this year, solve all of your troubles with Ireni, prove your value, and persuade her."

Maksudnya?

"Sebenarnya Ayah bukan model orang tua begini, tapi melihat kalian berdua yang—" Ayah lebih memilih menggelengkan kepalanya daripada meneruskan ucapannya. "—Ayah sendiri maunya kamu menikah ketika kamu dan pasanganmu sudah benar-benar siap, kamunya juga sudah mapan, tapi kalau nggak diburu-buru—kasian Ireni dan kamu juga. Jadi, Ayah kasih waktu satu tahun buat memenuhi semuanya termasuk meyakinkan Ireni supaya dia mau menikahi kamu," jelasnya dengan suara dan ekspresi yang tampak jauh lebih tenang daripada sebelumnya.

Menikah? Gue dan Ireni? Satu tahun?

Ini... berita baik, kan?

Sebelum ini, gue sama sekali nggak kepikiran untuk memikirkan soal pernikahan. Bukannya gue nggak punya keinginan itu, ya... Ada, tapi memang nggak mungkin gue pikirkan ketika hubungan kami masih buruk—sebelum akhirnya kami membicarakan semuanya—-dan juga banyaknya masalah yang gue hadapi soal Ibu yang terus mengenalkan banyak wanita, di saat gue dan Reni masih menyembunyikan hubungan kami dari orang-orang—bagaimana gue bisa memikirkan soal pernikahan meski hubungan kami sudah berjalan selama 5 tahun, kan?

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now