8. Bulan Sabit

Mulai dari awal
                                    

"Dia pasti pemancing yang hebat."

Tawa Anna teredam dengan cepat di balik tenggorokannya. Pendek, lirih, terkenang akan sesuatu. "Dia pria paling sabar yang pernah kukenal. Dia sering menghabiskan waktunya di sungai, memancing ikan untuk dibawa pulang. Bibi Ellea akan memanggang hasil tangkapan dengan resep ibunya."

"Apa yang terjadi pada bibimu? Mengapa kau memanggil mereka dengan paman dan bibi bukannya ayah dan ibu?"

"Bibi Ellea mengidap kanker pankreas. Penyakit itu merampas senyum dan kehidupannya selama bertahun-tahun. Aku memang putri adopsi dan mengganti namaku jadi Anna Rue Lewandowski setelah aku tiba di Glasglow. Hanya saja ..." Anna menciptakan jeda, bulu matanya yang basah berkedip dan dia melanjutkan, "Aku merasa lebih nyaman untuk memanggil mereka dengan sebutan itu. Lagi pula, paman dan bibi tak pernah keberatan. Aku selalu menganggap mereka seperti orang tua biologisku."

"Kau pasti merindukan mereka."

"Sangat." Anna memejamkan matanya.

"Mereka akan mengawasimu dari suatu tempat. Selalu. Buka jendelamu saat malam hari, kapan pun kau membutuhkannya, atau pergi saja ke balkon. Paman dan bibimu sudah menjadi bagian paling indah di antara luasnya langit."

Anna membuka matanya. Dia tersenyum. "Apa mereka juga bisa melihat kita sekarang? Jika iya, maka kita dalam masalah."

Kami tergelak. Tertawa tidak membuatku cukup dan mengendur, tapi justru sebaliknya. Aku semakin keras, semakin tenggelam jauh dalam hasrat yang membentang.

"Kau boleh melakukannya." Suara jernih Anna melukiskan tekad yang membara di matanya.

"You can't change your mind." Aku mengingatkan.

"Aku tahu. Aku tak akan menyesalinya."

"Kita akan terkoneksi selamanya, butterfly. Kau tidak akan pernah bisa lari dariku bahkan setelah kau mati, kau tetap milikku."

Anna seharusnya merasa takut karena itu sifat dasar manusia. Rapuh, cenderung bergantung pada zona aman, selalu cemas pada hal-hal yang tak pasti. Lemah dan juga mudah dimanipulasi.

Anna mengejutkanku dalam banyak cara. Rasanya seolah-olah aku sudah mengenalnya jauh sebelum kami bertemu di kehidupan ini. Merasakan keakraban yang erat dan abadi.

"You can own me," bisik Anna kembali mengangguk.

"I warned you many times." Aku mencoba menggoyahkan keyakinannya.

"And I'm not afraid at all."

Aku menatap Anna lama dan mengangguk. Tanpa ragu, aku meraih rahangnya dan mencengkeramnya dengan ibu jariku di dagunya. Adrenalin mengaliri punggungku dengan keserakahan.

Wajahku condong ke leher Anna. Merasakan pembuluh darah yang berdenyut-denyut memanggil di balik kulitnya. Aku mendadak lapar dan tenggorokanku kering seolah-olah aku telah berjalan di padang pasir dan belum menyentuh air selama berminggu-minggu.

Aku menjulurkan lidah. Menandai Anna di satu titik sebelum menancapkan taringku. Bunyi robekan dan jeritan tertahannya terdengar seperti nyanyian siren yang menyesatkan.

Rasa karat dan garam yang bercampur dengan aroma manis bunga perlahan melapisi seluruh permukaan lidahku. Aku menggila. Aku mungkin tidak bisa berhenti.

Aku terlempar dalam lautan ekstasi. Sekelilingku gelap. Aku melihat bintang bekerlip di belakang mataku lalu serentak hilang ketika tubuh Anna mengejang.

Aku segera menarik diri. Menyaksikan Anna menggeliat dan air matanya jatuh, sementara tanda itu mulai bekerja di lehernya. Segelku tercipta, melingkar dengan motif rumit dan bahasa kuno, dengan namaku dan nama Anna yang saling bertaut di dalamnya.

Itu cantik. Cocok untuk Anna. Seperti kalung choker collar yang permanen, bukti bahwa aku sudah mengklaimnya, memilikinya.

Warnanya masih pudar dan akan jadi sedikit lebih gelap saat nanti bulan sabit muncul. Aku sanggup memandangi leher Anna selamanya. Memperhatikan jejak diriku yang tertinggal di tubuhnya.

"Kau cantik dengan tanda ini." Aku memisahkan diri dan berbaring di sampingnya.

Anna menyentuh lehernya. Napasnya mulai teratur. "Rasanya tidak seburuk itu. Tidak sesakit yang kukira."

Ketika Anna kembali menyentuh lehernya, mencari bekas gigitan, keningnya mengernyit. Dia duduk dan memegangi lehernya sekali lagi. "Lukanya ... "

"Itu sudah menutup."

"Sungguh?"

Anna buru-buru menuruni ranjang dan lari menuju cermin. Memeriksa bekas taringku di lehernya yang langsung lenyap secepat kulit itu tadi terbuka. Terpana pada setiap prosesnya.

"Lukanya hilang begitu saja? Mustahil." Anna berbalik menatapku.

Aku bangkit menyusul. Bergerak mendatangi Anna dengan gerakan kilat dan mengangkat tubuhnya dalam dekapanku. Sekarang setelah dia berbagi darah yang sama, aku juga dapat merasakan rangkaian emosinya.

Itu menular. Seperti sedang berlindung di bawah kubah transparan yang sama. Jantung Anna berdebar kencang dan perasaan gugupnya mengitariku.

Aku berniat menggulingkan Anna di ranjang saat pintu kamar tiba-tiba diketuk kasar. Suara teriakan yang familier itu menginterupsi. Aku refleks mengumpat.

"Siapa itu?"

Aku menurunkan Anna dan menyambar selimut untuk menutupi dirinya. Memintanya menunggu, sementara aku akan keluar. "Itu adikku. Aldrich. Aku akan segera kembali."

***

Crescent MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang