Masih sambil memijat sisi pelipis kepala, gue balik menatap Ayah dengan mata yang memicing. "Ayah tau dari mana?"

"Deryl," jawabnya singkat dan semuanya menjadi lebih masuk akal.

Kepala gue mengangguk-angguk singkat, "Kalau kata Deryl, sih, sudah beres. But I still don't know all the details, but I feel everything was handled properly because I entrusted the situation to experienced professionals."

Ini kepala gue juga kenapa, sih?

Perasaan gue udah sering nggak tidur beberapa hari, tapi gue nggak pernah merasa sepusing ini sebelumnya?

Gue meringis, merasai sakit di kepala gue waktu gue mendengar Ayah menanggapi dengan nada sarkas yang kental. "Itu karena kamu nggak ada pergerakan! Kalau kamu masih sembunyi-sembunyi begini, ada kemungkinan kalau kasusnya si Sahid ini bakal keulang. Terus, kamu mau apa? Reni memang masih sama kamu, dia bakal tetap memilih kamu, tapi apa kamu nggak merasa kalah sama orang-orang itu? Mereka berani—"

Gue nggak tahu apa ini karena ini baru pertama kali gue denger Ayah ngomel dan gue terlalu kaget, atau karena gue nggak tahan lagi sama sakit yang gue rasakan sekarang—semuanya mendadak berubah gelap dalam sekejap mata.

I don't feel anything at all.

Gue nggak tahu apa yang terjadi sampai perlahan kesadaran gue terkumpul waktu kedua mata gue mencoba untuk terbuka dan mengerjap pelan karena banyaknya cahaya yang masuk menyerbu penglihatan gue, dan langit-langit dari tempat yang nggak begitu familiar adalah yang pertama gue lihat.

"Sadar kamu?" Nggak lama, gue melihat wajah Ayah—kelihatan khawatir tapi juga biasa-biasa saja di waktu yang bersamaan. "Udah istirahat aja. Kata dokter kamu kecapekan, tekanan darahmu juga rendah," kata Ayah bersamaan dengan pening yang kembali gue rasakan. "Ibumu lagi on the way ke sini. Mending istirahat dulu sebelum dengar kultum dari Ibu," ucap Ayah sambil membenarkan letak selimut gue.

"Kenapa harus telepon Ibu?" Gue berdehem pelan, merasai tenggorokanku yang berubah kering.

Ayah dengan sigap mengambil botol air putih dan membantu gue untuk meminumnya, "Deryl tadi saking paniknya liat kamu pingsan di ruang meeting langsung telepon Ibu sama Ayah," ucapnya menjelaskan.

"Telepon Ayah?" Kalau gue beneran pingsan, bukannya gue pingsan di ruang meeting waktu gue lagi ngomong sama Ayah, ya?

Gue memalingkan wajah, memberitahu Ayah kalau gue sudah selesai minum dan membuatnya menarik botol air putih dari depan bibir gue. "Ya, 'kan, saking paniknya? Bentar, ya, Pak, saya butuh untuk menghubungi Bapak Wijaya dan Ibu Ainur dulu. Gitu katanya." Kepala Ayah menggeleng pelan waktu meniru cara bicara Deryl. "Mana dia bingung sendiri waktu teleponnya nggak Ayah angkat. Kocak banget itu anak. Mungkin syok kali, ya, dia? Nggak pernah tahu kalau atasannya ternyata bisa tumbang juga. Dia pikir mungkin kamu semacam robot," kata Ayah yang sempat membuat gue tersedak karena tertawa.

Nggak usah Deryl, gue sekarang aja juga kaget karena gue nggak pernah merasa sakit yang sampai sebegininya apalagi sampai membuat gue pingsan.

Ngomong-ngomong soal Deryl...

"Reni udah Ayah kasih tau." Bak peramal, Ayah menyahut dan kembali duduk ke sofa yang letaknya lumayan dekat dengan ranjang yang gue tempati. "Tapi, dia nggak bisa meninggalkan kantor begitu aja. Waluyo lagi ada meeting sampai malam nanti, dan Reni jelas harus mendampingi—" Gue menolehkan kepala ke Ayah, dan Ayah menganggukan kepalanya. "Ya, kamu kalah sama Waluyo meski kamu sakit begini."

Bukannya tersinggung, marah, ataupun kesal, gue justru tertawa mendapati lelucon yang dilempar Ayah.

Sialan, kalau dipikir-pikir emang bener? Gue sakit sampai masuk rumah sakit begini aja, Reni lebih milih ikut meeting sama Waluyo. Yeah, I understand that's part of her professionalism, and I have no problem with it. Gue cuma merasa situasi ini lucu aja.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang