Bab 15: Syarla

6.8K 496 5
                                    

Pukul delapan pagi, Sabila dan Suster Rini sudah siap di kamar Renner. Suster Rini sudah membawa semua hasil tes lab dan obat-obatan untuk Renner bawa pulang. Renner juga sudah siap dengan baju kasualnya, tas, dan barang-barang yang sudah ia rapihkan.

Tak lama, Paul dan Syarla datang menjemput Renner.

"Makasih ya Dok, Sus, udah bantuin Kapten saya yang keras kepala ini." sahut Syarla.

"Iya Dok, semoga kita nggak ketemu lagi ya..." canda Paul yang dihujam oleh tatapan tajam Renner, "...ya artinya Renner akan sehat terus." lanjut Paul tersenyum jahil.

"Sama-sama. Semoga sehat terus ya, Mas Renner. Usus buntu cuma sakit sekali seumur hidup kok." jawab Suster Rini sambil mengedipkan mata, memecah tawa satu ruangan.

"Ini jahitannya harus dilepas nggak sih kalo udah sembuh?" tanya Renner, ia teringat pengalaman membuka benang luka jahitnya di tangan ketika jatuh beberapa tahun lalu.

"Oh iya, jahitan dalamnya nggak perlu, tapi yang dikulit harus dilepas nanti kalau udah benar-benar sembuh ya." jawab Sabila.

"Tapi lepas jahitannya bisa dimana aja kok, nggak mesti kesini. Dokter di RS atau klinik manapun pasti bisa." lanjutnya lagi.

"Biarpun agak jauh dari kantor, Abang pasti kesini sih." ujar Syarla tersenyum.

"Ck. Apa sih, cil." decak Renner.

"Yaudah kami pulang dulu ya, Dok, Sus. Mari." pamit Paul.

"Bareng aja ke depan, saya juga sekalian pulang." sahut Sabila yang memang mengakhiri shift 12 jamnya.

⏳⏳⏳

Di depan Rumah Sakit, sudah ada Nabila yang menunggunya. Memang kedua kakak-beradik ini sudah janji mau sarapan bubur ayam bersama sebelum Nabila berangkat kerja dan Sabila beristirahat. Mereka sangat menjaga kebersamaan di waktu kesibukan yang padat.

"Pagi Kakakkuuuu." sapa Nabila menghampirinya.

"Halo Nab.."

Nabila menoleh ke arah tiga orang yang berjalan keluar bersama kakaknya, mengenal salah satu wajah.

"Eh loh, Abang yang kemarin kan?" tanya Nabila.

Renner setengah malas menjawab, "Iya."

"Oh, jadi pasiennya Kak Sabila ya?" tanya Nabila berpura-pura.

"Iyaa tadinya, sekarang enggak lagi karena udah sembuh." jawab Sabila. "Oh iya, kenalin ini adik saya, Nabila. Nab, ini Paul dan Syarla, teman-temannya Renner."

Mereka saling jabat tangan dan kemudian berpisah.

⏳⏳⏳

Di mobil dalam perjalanan pulang, Syarla tak kuasa menahan rasa ingin taunya.

"Jadi, Abang udah pernah ketemu sama adiknya Dokter Sabila?" tanyanya dengan alis naik-turun.

"Gak sengaja ketemu di IGD." jawab Renner singkat.

"IGD? Ngapain lu main ke IGD?" tanya Paul kali ini.

"Ya bosenlah. Lu ga liat ni segala barang gua minta bawain biar gak bosen?" pungkas Renner.

"Ooh, bosen. Bukan karena nyariin seorang Dokter?" tanya Syarla lagi.

Renner memutar bola matanya. "Bukan."

"Tapi kok lo galak banget sih ke adiknya? Padahal manis gitu orangnya." sahut Paul.

"Adeknya kayaknya wartawan deh. Soalnya kepo banget. Takut gua." jawab Renner, "Coba kumpulin intel, Paul." Paul mengangguk. Renner memang paling anti dengan segala yang berbau jurnalis. Selain karena misi mereka yang bersifat rahasia, Renner juga sempat punya pengalaman buruk dengan salah satu wartawan beberapa tahun lalu.

"Back to topic, jadi nggak ada apa-apa sama Dokter Sabila?" rasa penasaran Syarla belum terjawab.

"Ya nggak ada, lah. Lo tau kan dek, prioritas gua siapa." sahut Renner.

"Gua udah gede ya, Bang." Syarla mendengus.

"Ya hidup yang bener dulu. Karir lu pikirin. Jangan jalan sama cowok ga jelas." balas Renner.

"Ah- percuma sama Abang mah. Karir Syarla udah bagus juga tetep ditarik ke tim ini. Padahal Syarla top performer di cyber Metro."

Paul menatap sahabatnya itu menimbang kalimat apa yang harus ia lontarkan, "Ren, kayaknya lu jangan terlalu keras deh sama Syarla. Dia udah 22 tahun sekarang, mau sampe umur bera-"

"Paul lo gausah ikut-ikut ya." potong Renner. Ya, reaksinya sesuai dugaan Paul.

"Kak Pauuul, bantuin Syarla." kata Syarla setengah merengek.

"Tapi gua juga ga setuju kalo lo sama Bimo, ya." balas Paul.

"Siapa sih yang suka sama Bimo? Kemarin tuh Syarla cuma butuh code-nya aja. Itu doang. Syarla loh, nggak ada deket sama siapa-siapa. Tiap hari tiap menit hampir sama kalian semua. Kurang apa sih??" kesalnya.

Renner menatap keluar jendela. Menatap jalanan yang masih sepi dan merenungkan apa yang Paul dan Syarla katakan. Apa benar, ia terlalu mengekang Syarla? Tapi ini semua ia lakukan untuk menjaga Syarla.

"Iya, iya. Kak Paul bakal ngebelain kamu kok." jawab Paul akhirnya.

Syarla masih merengut. Meski ia bersyukur bisa jadi bagian dari Team Shadow selama setahun terakhir, tapi sejujurnya ia kadang merasa terganggu dengan sikap Renner yang terlalu overprotektif. Untungnya, Renner masih bisa mengontrol sifat itu dalam setting tim dan bekerja profesional. Tapi diluar pekerjaan, jangan harap.

Team Shadow sudah beroperasi 3 tahun sebelum Syarla bergabung, dan empat anggotanya sudah sering dipuji di forum tertutup. Karena sifatnya yang sangat rahasia, Team Shadow memang bukan tim resmi, tak ada catatan tentang keberadaannya dimanapun. Syarla hanya bisa tahu karena kemampuan cyber monitoringnya di kantor pusat. Renner tidak pernah sedikitpun membocorkan pekerjaan aslinya, Renner selalu bercerita bahwa pekerjaannya adalah detektif untuk squad khusus di Polri.

Menurut Syarla, perekrutan dirinya ke Team Shadow merupakan akal-akalan Renner supaya bisa lebih dekat menjaga dirinya. Ketika merekrut Syarla, Team Shadow beralasan bahwa mereka kekurangan expert di bidang IT. Padahal, Iqbal adalah seorang forensic IT. Renner berdalih bahwa Iqbal kini lebih fokus ke field work dan infrastruktur, sehingga keahlian Syarla memang sangat dibutuhkan timnya. Alhasil, selama setahun kebelakang, 24/7 gerak-gerik Syarla dimonitor oleh Renner.

"Pokoknya aku doain, Bang Renner cepet dapet pacar. Mau Dokter Sabila kek, mau balikan lagi sama Kak Anggis kek, terserah. Biar Syarla nggak dicariin mulu." sahut Syarla.

"Heh- " jawab Renner sambil menoleh ke belakang. Syarla mengangkat bahunya.

"Papa juga nggak bakal setuju kalo Abang pinyit Syarla mulu." tambahnya.

"Syar.." Paul kali ini angkat bicara, "Mulut tuh dimasukkin sekolah. Jangan asal ngomong."

Renner langsung terdiam, ia tak membalas lagi. Ia melempar pandangannya ke luar.

"Sori Bang, bukan gitu maksud Syarla..." kini Syarla merasa bersalah. Ia tahu bahwa topik mendiang ayahnya adalah topik sensitif.

"Atau kamu mau Abang setuju sama Mama kamu, buat berenti jadi polisi?" Renner memecah keheningan.

"Ih! Abang mah!"

"Ya udah, kalo masih mau jadi polisi, ikutin Abang. Mau ngomong apa Abang ke Mama kamu nanti, hm?"

"Ancem teroooos." Syarla mendengus lagi.

Paul hanya bisa menggelengkan kepalanya. Hubungan Renner-Syarla memang kompleks, tapi ia hanya bisa berempati terhadap keduanya. Satu hal yang ia setuju, mungkin Renner memang butuh pasangan agar adiknya itu bisa bergerak dengan lega.  

Two Worlds Colliding [End]Where stories live. Discover now