"Ajak pacar gitu, loh, Mas Hatalla." Kedua alis gue menukik, merasa luar biasa aneh dengan ucapan yang keluar dari bibir Pak Syamsir barusan. "Ya, supaya liburannya lebih seru. Kalau liburannya sendiri, 'kan, bosan? Bukan begitu?" tanyanya disambung tawa lain yang malah terdengar dipaksakan di telinga gue.

"Pacar saya kerja, Pak." Seharusnya gue nggak perlu memperdulikan topik pembicaraan ini, tapi nggak tau kenapa gue malah tertarik karena ingin tahu tujuan Pak Syamsir melempar pertanyaan barusan. "Rada susah kalau mau liburan bareng, kecuali nanti kalau sudah menikah, ya," sambung gue, memperhatikan lekat-lekat raut terkejut yang dibuat Pak Syamsir.

Kaget banget kayaknya, kan?

"Loh, Mas Hatalla sudah punya pacar?" tanyanya. "Kok, nggak ada beritanya? Nggak ramai orang tahu?"

Sekarang gantian gue yang ketawa, "Ya, saya siapa, sih, Pak, sampai saya pacaran harus ada beritanya segala?" tanya gue balik, mencoba memancing Pak Syamsir lagi.

"Saya cuma kaget, sih. Soalnya yang saya dengar Mas Hatalla belum ada pasangan," katanya, nggak benar-benar menjawab pertanyaan gue.

Obrolan kami sempat terhenti karena minuman dan makanan kami dihidangkan di atas meja, Pak Syamsir pun mempersilakan gue untuk menikmati makanan dan minuman yang sudah dia pesankan lebih dulu.

"Waduh, Malaika bisa patah hati ini kalau dengar kabar ini," ujar Pak Syamsir membuat tangan gue yang memegang cangkir kopi berhenti di udara. "Tadinya, saya niatnya mau melancarkan taktik dan niat supaya bisa mendekatkan kalian berdua, loh."

Sebentar? Malaika?

Ini Malaika yang itu? Malaika anaknya Pak Santoso? Malaika itu yang dimaksud Pak Syamsir barusan, kan?

Pak Syamsir menatap gue dengan keningnya yang berkerut dalam, "Kenapa? Kamu kenal Malaika, 'kan? Oh! Jangan-jangan kalian sudah pacaran?" tebaknya dengan mata yang membelalak lebar.

Kenapa tebakannya makin ke sini, makin nggak jelas begini?

"Ini Malaika anaknya Pak Santoso itu, ya, Pak?" tanya gue dan Pak Syamsir menganggukan kepalanya keliatan antusias.

"Kamu pacaran sama dia? Pantes aja, Santoso terakhir kali ngomong di pertemuan keluarga kami kalau tinggal tunggu kabar baiknya aja dari kalian berdua. Ternyata kalian berdua sudah pacaran?"

Wah...

Kejauhan...

Baru juga masalah gue sama Reni selesai, sekarang ada tambahan lagi dari Pak Santoso dan Malaika yang keliatan biasa-biasa aja dan nggak ada pergerakan aneh di depan gue dan keluarga gue?

Nggak langsung menjawab, gue menoleh ke arah Deryl. Tanpa perlu mengatakan apa-apa—karena gue tahu Deryl sejak tadi memasang telinganya—Deryl menganggukan kepala dan beranjak dari mejanya.

Sebut aja gue kecolongan karena nggak tahu dan nggak mencoba mencari tahu sosok Pak Syamsir yang kemungkinan ada ikatan kekeluargaan dengan Pak Santoso. Yeah, I don't blame myself because it wasn't really crucial for me to think about and find other than the fact that Santoso's family deliberately misunderstood the situation.

Melihat Deryl berjalan keluar restoran, gue kembali menghadapkan tubuh gue lurus. "Saya nggak ada hubungan apa pun dengan Malaika, Pak." Tanpa berbasa-basi, gue memutuskan untuk menjelaskan dengan cepat. "Awalnya memang Ibu saya berniat mengenalkan saya dan Malaika, tapi kami berdua nggak menemukan kecocokan. Saya pikir Pak Santoso dan Malaika sudah tahu karena setahu saya Ibu dan Ayah saya sudah membicarakan soal ini sebelumnya."

Raut terkejut terlihat di wajah Pak Syamsir lagi, "Loh?" Matanya berkedip cepat, menatap gue. "Oh, ternyata kalian nggak pacaran?" ucapnya tampak canggung. "Tapi, kalian pernah dekat? Maksudnya, kamu dan Malaika?"

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now