"Is that what made you cry that night?" Gue mengangguk. "Aku nggak mau dibilang menggurui atau bahkan sok tahu." Katon berujar dengan nada serius, membuat gue meluruskan tatapan gue ke arahnya. "Tapi, dari apa yang aku lihat dan dengar sendiri dari cerita kamu sebelumnya..." Bibir Katon menipis. "Without realizing it, you did this on purpose; you wanted to satisfy your ego, which was hurt by Reni in the past. That night, without realizing it, your confusion took over and made you a different person because you wanted to hurt Reni and wanted her to feel what you had been feeling all these years and trying to hide."

Gue? Gue melakukannya? Gue melakukan hal sejahat itu?

Kepala gue refleks menggeleng, "I did such a terrible thing..." gumam gue pelan.

Dan bayangan bagaimana gue mengabaikan Reni selama ini—semuanya yang gue lakukan—langsung memenuhi benak, menyerbu gue dengan raut sedih Reni ketika gue abaikan secara terang-terangan di beberapa kesempatan.

"Itu bukan salahmu juga, La." Ucapan Katon selanjutnya hampir nggak terdengar karena saking ributnya pikiran gue sekarang. "What you're doing is expressing your frustration with Reni's passivity and closedness in your relationship. Reni is also at fault here. You, too, are perplexed."

Tapi, apa benar kalau gue sengaja bersikap seperti itu ke Reni malam itu? Di saat gue sadar kalau Reni benar-benar membutuhkan gue? Apa gue tega?

Dan, ya, saat itu gue memang kebingungan, tapi apa yang dikatakan Reni memang benar? Kalau gue berbeda? Kalau gue nggak lagi sama?

Semalaman gue mencoba mencari jawabannya di sela air mata yang terus turun, di sela banyaknya pekerjaan gue—pikiran gue penuh dengan sosok Reni yang gue tinggalkan sendirian malam itu di kamar tamu rumah Ririn.

Juga pucatnya wajah Reni waktu gue mengantar Malaika sebelum gue datang ke sini—ke rumah orang tua Kumala—untuk bertemu Katon.

Semuanya tersusun nggak karuan memenuhi otak gue, berebut keluar semacam ingin menyiksa dan mengolok-olok kebodohan gue yang sampai sekarang belum bisa menyadari keadaan dan situasi yang gue dan Reni hadapi.

"In other people's eyes, and now in mine, it's obvious that you still love Reni. You are just exhausted. Because if you didn't love her, you wouldn't be so anxious, and you wouldn't be in sorrow over her right now," ucapnya seperti tahu apa yang sedang gue pikirkan dan khawatirkan sekarang.

Kepala gue tertunduk karena mata gue mendadak terasa panas, mendengar apa yang dikatakan Katon dan membandingkannya dengan apa yang terucap dari bibir Reni membuat hati gue kembali sesak.

"Kalau kamu nggak cinta sama Reni, kamu nggak mungkin sampai sebegininya, La," kata Katon dengan tepukan tangannya di bahu gue yang bergetar beberapa kali.

Ya, kan? If I don't love Reni, what are my tears for? Whom are they for?

Gue masih cinta dia...

Itu bukan pertanyaan.

"Tenang, La..." Gue semakin menundukkan kepala, mencoba menghentikan isak tangis gue sendiri. "You still love her. What Reni said that night is not true because I, the other person, can still see it. You need to think calmly; you need to be alone first so that you are no longer confused, so that you and Reni can both rest for a while, and so that you and Reni don't hurt each other anymore."

Setelahnya, bayangan momen-momen gue bersama Reni—selama lima tahun ini—menyerbu memenuhi benak gue—menggantikan semua momen-momen buruk—berupa tangis Reni, wajah sedih dan pucatnya—yang membuat gue terjaga akhir-akhir ini.

Ya, gue mencintainya.

Untuk apa gue repot-repot menghubungi kenalan sana-sini untuk mencari bantuan soal permasalahan keluarga Pramana dan Mita? Gue nggak mungkin mau terjaga semalaman untuk membahas masalah yang sama dengan Jeremy lewat video call, mengeluarkan seluruh kemampuan gue untuk melobi beberapa keluarga yang sekiranya dekat dengan keluarga Pramana agar mereka mau mengikuti arahan gue kalau sampai keluarga Pramana dan Mita berani macam-macam ke Reni.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang