Daripada memperpanjang urusan, terlebih karena aku benar-benar salah kali ini—aku memilih diam, berdiri sambil menundukkan kepala. Semua makian yang dilontarkan Pak Waluyo aku dengarkan, meski beberapa staf berbisik-bisik di selanya—ada yang mengasihaniku, ada yang menertawakanku, bahkan ada yang diam-diam merekamku.

Sampai akhirnya Pak Waluyo menghentikan omelannya dengan membawa pekerjaan lain untukku—berupa setumpuk dokumen dan beberapa map berisikan tugasnya yang belum diselesaikan—sebelum ia kembali masuk ke dalam ruangannya setelah memarahi beberapa staf marketing yang memperhatikan kami.

Oke, Ren. Tenang. For the time being, it's best to prioritize work because that's all you can do to forget about the troubles you've been dealing with lately.

"Tapi, Pak, ada pemberitaan yang mengabarkan kalau pihak Frederic Simons membantah semua pengakuan Ibu Mita dan keluarga Pramana soal keterikatan hubungan mereka dulu, Pak."

Lucu, kan?

Lalu, aku siapa kalau nggak ada satupun orang yang mau mengakuiku?

Napasku terhela kasar dan berat, aku buru-buru menggelengkan kepala—berusaha menyadarkan diri dan menghilangkan sesak yang sempat aku rasakan.

Aku tidak boleh terpengaruh, aku tidak boleh merasa sedih, aku tidak perlu merepotkan orang lain.

Nggak juga merepotkan Hatalla.

Hatalla?

Hatalla...

Jari-jariku yang ada di atas keyboard lantas terhenti di udara, begitu juga pandanganku yang menancap ke arah layar iMac, ke barisan kalimat balasan email yang perlu aku kirimkan segera.

Mataku mengerjap cepat, lalu bergerak lambat dan kesadaranku terlambat datang saat aku merasakan sesak luar biasa ketika mengingat bagaimana aku menghabiskan waktu menangis semalaman.

Saat Hatalla meninggalkanku keluar dari kamar tamu di rumah Mbak Ririn, saat pria itu nggak menyangkal apa yang aku katakan, saat aku tahu semuanya sudah berakhir ketika pintu kamar tertutup dari luar.

Bagaimana ini?

Aku menelan saliva kelat, sembari memaksa jari-jariku untuk bergerak meneruskan email yang sebelumnya aku ingin kirim.

Don't cry. It's alright... Don't cry.

"Ireni!"

Don't cry here... Didn't you promise not to show your weaknesses and take advantage of the kindness of those around you that you forgot about before?

"Ren?"

Oh, Deryl? "Oh, ya?"

Dan kenapa Pak Waluyo ada di sini juga?

Deryl menghela napasnya panjang, sementara Pak Waluyo yang berdiri di sebelahnya menggelengkan kepala. "Dari tadi pagi kerjaannya Ireni begitu itu. Nggak fokus, melamun, santai-santai aja. Hari ini saya mau laporan sekalian ke bagian personalia, biar dikasih SP sekalian! Kerja nggak becus! Udah untung nggak dipecat kamu sama atasanmu dulu, tapi kalau sama saya... Jangan harap saya kasih keringanan ke kamu!"

Astaga, Ren...

Mataku memejam erat saat mendengar suara bantingan keras pintu yang dibuat Pak Waluyo ketika kembali ke dalam ruangan.

"Kerjaan sudah selesai, Ren?" Aku menggeleng cepat sambil menunjuk ke layar iMac saat Deryl bertanya. "Buruan diselesaikan, Bapak Wijaya mau ketemu. Tapi, beliau masih ada tamu."

Pak Wijaya?

Setelahnya, aku mengangguk dan dengan cepat mengirimkan beberapa email yang harus aku kirimkan siang ini. Begitu selesai, aku dan Deryl sama-sama pergi ke ruangan Bapak Wijaya yang letaknya satu lantai dengan ruangan Hatalla.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now