2. Damn Who Knew

22.1K 1.2K 95
                                    

Air mata merembes keluar begitu saja. Rasa takut seketika mencengkeram dada. Aku tak pernah merasakan ketakutan seperti ini. Biasanya, tak ada yang benar-benar bisa membuatku menangis. Ayam peliharaanku mati saja tidak mewek. Jatuh dari ojek, dikatain lesbi, insentif yang tak sesuai hitungan, bahkan lupa ambil uang kembalian di Indomaret juga tak membuatku berlinang air mata. Tapi ini.... Air mata mengucur dengan deras. Sedih melihat tubuhku telanjang sebadan-badan, sedangkan aku tak ingat apa-apa.

Walau samar aku mencoba mengingat apa yang terjadi, mengulang malam sampai ke bagian terakhir. Ingatanku berakhir pada sosok dekil, nyeremin, dan bertato yang semalam mencengkeram tanganku. Mengingatnya badanku langsung tegang. Masih utuhkah diriku? Apa dia yang telah menculik dan menelanjangiku? Otakku penuh dengan pertanyaan, tapi tak ada satu pun yang terjawab.

Tak ingin jadi gila, aku bangkit mengelilingi kamar. Dari jendela besar yang ada di kamar dapat kulihat langit Jakarta dan gedung-gedung pencakar langit di sekelilingnya. Aku berkesimpulam bahwa saat ini berada di atas ketinggian sebuah apartemen. Tiba-tiba kantung kemihku menuntut perhatian. Mewah, bersih, dan sangat rapi, begitu pendapatku saat mendapati kamar mandinya.

"Anjrittt!!! "

Aku membekap mulut, melotot horor pada laci yang terbuka. Sumpah! Ini lebih banyak dari yang biasa aku lihat di kasir Indomaret. Dengan tangan bergetar kuambil banana flavour. Aku kembalikan ke dalam laci dan kuraih yang lain, strawberry flavour, choco flavour, guava flavour. Astaga.... Ini kondom atau aneka jus? Kok ada rasanya segala? Beneran berasa gitu?

Melihat kondom berbagai macam merek sebanyak ini membuatku takut. Sebenarnya manusia seperti apa yang sudah menculikku. Tak mungkin kondom ini cuma dijadikan koleksi, memenuhi laci tanpa digunakan. Ya ampun, kalau betul, aku bisa gila beneran. Tetapi, kalau dia sudah berbuat macam-macam, aku bisa sedikit lega. Which is, aku tak akan hamil, secara kondomnya banyak. Pasti dia pakai kondom, kan?

Setelah menjelajahi kamar mandinya, aku melanjutkan ke walking closet. Mewah, mahal, lengkap mirip boutique. Aku menyusuri setiap jengkal kamarnya, namun tak kutemukan identitas pemilik apartemen mewah ini. Jangankan sertifikat bukti kepemilikan, foto seukuran jempol pun tak ada. Aku tahu dia itu laki-laki dari barang-barang yang ada di walking closet, kondom, dan afters shave di bathroom-nya. Selebihnya aku tak tahu siapa dia.

Aku tak bisa berlama-lama di sini, harus mencari keberadaan tasku. Apakah ada pada Maya atau tidak. Seluruh harta bendaku ada di tas itu, termasuk kunci rumah. Kalau tak segera menemukan tas sialan itu, dipastikan aku berakhir homeless. Bajuku juga raib, aku sudah mencarinya keliling kamar, tetapi tak juga kutemukan.

Secepat kilat aku kembali ke walking closet memilih baju yang muat di tubuhku. Hampir saja aku mati berdiri, lupa bagaimana cara menarik napas. Di dekat walking closet, ada yang lagi cengar-cengir memperhatikan. Wujudnya gede, tinggi, hitam... cokelat gitu. Dia sedang senderan dengan tangan terlipat di dada, di mulutnya terselip rokok. Ini makhluk pasti penghuni lantai tiga belas. Mulutku komat-kamit, mohon perlindungan, baca-baca apa yang biasa dibaca.

Ya sudah lah, cuekin saja itu makhluk. Selama tidak mengganggu, aku juga tak akan mengusiknya. Aku meneruskan penelusuran memilih barang yang akan kupinjam untuk dipakai pulang. Aku memilih kaos Giordano bergambar grup metal dan hot pants merk Speedo, untuk sepatunya aku pakai Adidas. Perfect my outfit, head to toe. Aku joget-joget sambil berkaca. Gorgeous. Stunning as always.

Aku berhenti joget-joget ketika telingaku menangkap suara cekikikan. Makhluk jelek itu menyemburkan tawa dengan bahagia. OMG! Dia beneran orang, bukan setan, bukan pula genderowo. Dan, aku baru sadar setelah sekitar setengah jam gerak-gerak heboh mirip belatung nangka.

Come On Get ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang