"Lah, beneran sekantor, dong? Cinlok?" Ibu ikut menyahut, kali ini dia menghadapkan tubuhnya ke arah Ayah.

Ayah mengangguk, "Cinta lokasi. Udah lama juga, 'kan, ya, Ren?"

Okay, now I'm not enjoying it at all...

"Udah, jangan dibahas lagi. Reni-nya nggak nyaman," kata gue, mencoba menyadarkan Ayah dan Ibu soal keadaan Reni yang sudah diam membisu di kursinya.

Gue memang berkeinginan untuk semua orang tahu soal hubungan kami, tapi nggak begini juga caranya. Gue masih suka merasa bersalah—seperti sekarang—ketika sadar kalau Reni merasa nggak nyaman seperti sekarang.

Ibu langsung menatap ke arah gue nggak suka, matanya masih memicing sambil mendengkus. "Reni-nya nggak nyaman, atau kamu-nya yang nggak nyaman?" Ibu melengos, kali ini dia menambahkan decakan di akhir kalimatnya.

Sebentar, barusan Ibu ngomong apa?

Mata gue nggak sengaja bertemu dengan Ayah yang mengedikkan bahu, sebelum dia menatap Ibu sambil menahan senyum gelinya. "Setiap kita jalan, bisa nggak acara ngambek-ngambekannya di skip dulu? Nggak enak diliat sama Reni juga," ucap Ayah, memberitahu Ibu yang mendadak diam.

"Halah." Ibu menyahut dengan tangannya yang mengibas di depan wajah. "Reni udah terbiasa ngeliat aku begini gara-gara kelakuan anakku yang—" Setelah melirikku, kepala Ibu menggeleng dramatis.

Ibu kadang memang bisa kekanak-kanakan begini, gue dan yang lain cuma bisa memaklumi meski kadang kami harus menahan kesal juga seperti sekarang. Ya, kali gue yang disalahin, padahal kalau nggak diberhentiin tadi—semuanya bisa berubah nggak karuan.

Nggak lama, pesanan makanan kami sudah terhidang di atas meja. Sejenak, kami melupakan perselisihan sebelumnya. Ibu dengan sigap menawari Reni, mengambilkannya beberapa makanan diatas piringnya. Dan gue nggak bisa nggak bersyukur ke sikap ramah Ibu—yang biasanya kelewatan—di situasi kami sekarang.

Di bawah meja, gue mengulurkan tangan—menggenggam tangan dingin Reni. Sumpah, dia kayaknya banyak kaget hari ini. Dari ujung mata, gue memperhatikan Reni yang fokus dengan makanannya sambil sesekali menatap ke arah Ibu dan Ayah.

"By the way, Reni rumahnya Malang mana?" Di sela heningnya kegiatan makan kami, Ibu kembali bersuara. "Kamu terakhir pulang ke Malang kapan? Minggu depan, saya, tuh, ada dapat undangan di Batu. Datang sendirian, males banget, 'kan? Tapi harus ikut soalnya yang ngundang rekanan penting Bapak. Kamu ikut bisa? Mau?"

Gue refleks melihat ke arah Reni, dia menyudahi kegiatan makannya—bersandar di kursinya.

Nggak tahu kenapa, gue mendadak kepikiran Mama Reni ketika Ibu menyebut kota Malang barusan. Dan semua hal yang menyebabkan Reni—pandangannya soal hubungan kami—juga ikut memenuhi benak gue sekarang.

Masih sambil menggenggam salah satu tangan Reni, gue ikut memperhatikan pacar gue itu, sama seperti apa yang dilakukan Ibu dan Ayah sekarang.

Reni meringis, dan gue lebih ke kaget waktu tangan Reni yang lain—yang tadinya ada di atas meja—tiba-tiba turun dari sana dan mengarah ke atas genggaman tangan kami.

Tangannya menepuk tangan gue yang menggenggamnya beberapa kali, menandakan kalau dia merasa nggak nyaman dengan situasi atau pertanyaan yang diajukan Ibu. Gue tau, gue hafal.

"Saya, sih, nggak masalah, Bu." Yang artinya, dia perlu mikir lagi soal tawaran yang diberikan Ibu. "Kalau misalkan Pak Hatalla nggak keberatan kalau pekerjaan saya di oper dulu ke Deryl atau Rendi, sih, saya akan ikut Ibu." Yang artinya, Reni menyerahkan semuanya ke gue atau arti lainnya jangan sampai gue membiarkan dia ikut dengan Ibu dilihat dari gesturnya yang masih menepuk-nepuk tanganku, semacam memberikan sinyal.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now