Oh, come on... We're talking about the fast-rising Wheel Wild. Sudah pasti banyak investor—tanpa susah mencari seperti cara Frederic Simons mendekati gue—yang datang dengan sukarela ke dia.

"Terus?" Nggak usah tanya seberapa bahagianya gue sekarang! Seenggaknya dengan ini, gue bisa sedikit tahu soal Frederic Simons.

"He ate our bait and agreed to meet us in Singapore next week." Anehnya, Narendra mengulang perkataannya sekali lagi. "Gue janji ke asistennya Frederic Simons kalau dia bakal ketemu kita semua." Maksudnya? "Ber-enam. Lo, gue, Algis, Jatmika, Hestamma, sama Katon. I sold our name, which led Frederic Simons to agree to meet."

Mampus gue...

"Nah, itu pr lo sekarang." Ada tawa yang terselip keluar dari bibir Narendra barusan. "You must encourage your best friends to free up their time next week for your personal business," sambungnya masih tertawa.

Gue refleks berdecak... Sialan, ketemu sama Frederic Simons, sih, tapi gimana caranya gue bisa ngumpulin Algis, Jatmika, Narendra, Hestamma, sama Mas Katon di tempat yang sama di saat mereka punya kesibukan masing-masing?

"Lo... bisa, kan?" tanya gue ragu.

Narendra sempat bergumam panjang, "Tergantung lo bisa ngasih gue apa, sih? Nanti urusan ngosongin jadwal tinggal bilang ke Ririn aja."

Si brengsek satu ini beneran nggak mau rugi. "Lo minta apa? Ntar gue kasih," jawab gue pada akhirnya.

Suara tawa Narendra terdengar keras di seberang sambungan. "Nah, gitu, 'kan, enak? Kita sama-sama untung. Okay, deh. Minggu depan gue ikut, tapi nggak tau yang lain," ucap Narendra mengejek, tepat sebelum gue memaki dia dan sambungan telepon kami terputus.

Beneran peer, sih, ini...

Tapi, nggak masalah karena gue bisa ketemu Frederic Simons nanti.

Liat, Ren, pacarmu ini, loh, sampai sebegininya... Kamu—kamu buat balas pesanku dari pagi sampai siang ini aja jarang-jarang—persis kayak rekap absen gue dulu waktu sekolah.

Kemarin Reni bilang kalau Ibunya bakal datang dari Malang ke Jakarta, katanya, sih, ada urusan datang ke sini. Gue sempat menawarkan untuk mengantar Reni sekaligus menjemput Ibunya, toh gue juga lagi ada di Surabaya, kan? Surya juga nggak kerja, nggak lagi nganter siapa-siapa. Tapi, Reni bilang nggak perlu, dia bisa naik taxi.

Selain hubungan kami, Reni juga menutup-nutupi soal Ibunya. She would never allow me to say anything or make even the slightest sound when she was on the phone with her mom and I was around. Kalau dulu, gue sih nggak paham banget dan menganggap semuanya biasa aja. Tapi kalau sekarang, gue sedikitnya paham kenapa Reni nggak mau menunjukkan keberadaan gue di depan Ibunya.

Semuanya bermuara di orang yang sama.

Frederic Simons.

"Selamat siang, Bapak."

Lah, jam berapa ini emang?

Gue mengangguk, membalas sapaan Deryl yang sekarang berjalan masuk ke dalam ruangan gue. Bentar, harusnya bukan dia yang ada di sini, kan?

"Reni ijin datang langsung ke ATU, Pak." Tanpa gue tanya, Deryl ternyata lebih dulu menjelaskan, mungkin karena gue menatapnya sambil memicingkan mata seperti sekarang. "Kata Reni, dia sudah ada ijin langsung ke Bapak."

Nggak ada. Reni sama sekali nggak ada ijin ke gue.

Gini kali, ya, enaknya punya pacar atasannya sendiri? Bisa suka-suka dia aja gitu—-

—oh, Reni kirim WhatsApp ternyata...

Sayang 3.
aku ijin telat, ya?
nggak telat, sih. tapi nanti yang jemput kamu buat ke ATU si Deryl.
aku nyusulnya langsung ke ATU.

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now