Sedikit demi sedikit, satu langkah saling berdekat.

917 127 12
                                    


"Gian, gimana sekolahnya?"

"Seruuuu, tadi gian dikasih ini sama Byul!"  Gian memperlihatkan gantungan kunci yang diberikan oleh Byul.

"Lucunyaaa." Seungcheol berujar, ia memeluk sang putra yang duduk disampingnya.

"Gian, ayah mau tanya sama Gian."

"Tanya apah?"

"Menurut Gian, kalau kita ngga tinggal bareng kakek-nenek lagi gimana?" Pertanyaan itu bukan hanya membuat Gian menatapnya tetapi supir pribadi yang sedang mengendarai mobil mereka pun ikut melirik dari kaca tengah.

"Kenapah ngga tinggal sama kakek nenek lagi?" Tanya sang putra.

"Ngga apa-apa, jadi kita tinggal berdua aja."

"Kenapah?"

"Biar lebih deket sama sekolah Gian, jadi ayah bisa anter jemput Gian setiap hari." Seungcheol tersenyum, ia mengusap rambut sang putra.

"Setiap hari? Dianter jemput sama ayah?"

"Iya, jadi ayah ngga akan pulang malem lagi dari kantor. Pulangnya sore-sore, mau temenin Gian aja di rumah."

Jawaban itu, jawaban singkat itu ternyata mampu membuat isi kepala Gian berlarian kemana-mana, secara perlahan bibirnya tertarik ke atas dan ia tersenyum lebar sekali. Membayangkan sosok ayahnya yang akan ada lebih sering di rumah daripada meninggalkannya dengan pembantu atau kakek dan neneknya.

"Mau! Mauuuuu pindaah rumaaah." Seungcheol tersenyum lebar. Alasan sebenarnya ia meminta pindah rumah adalah pagi tadi calon mantan istrinya tiba-tiba datang padanya sebelum ia berangkat kerja, wanita itu datang sambil menangis dan ia memohon untuk tidak melaporkan dirinya kepada kuasa hukum keluarga yang nantinya akan mengakibatkan sang wanita tidak bisa bertemu dengan sang putra lagi.

Seungcheol yang sedang bersiap-siap pergi kerja tentu saja tidak menghiraukan tangis yang membuat para pekerja rumah penasaran, tetapi melihat pipi Seungcheol yang ditutupi plester adalah sebuah bukti yang cukup, kalau hidup berdua bersama Gian adalah pilihan yang paling baik.

Pipi Seungcheol terluka, karena dilempar oleh sebuah frame foto yang untungnya hanya mengenai pipinya.

"Ayah pipinya napah?"

Oh ternyata sang putra tersadar dengan plester yang berada di pipi sang ayah.

"Tadi..  ngga sengaja.. kejeduk tembok." Seungcheol tersenyum lebar pada Gian.

"Mau beli es krim?" Tanya Seungcheol dan Gian mengangguk dengan semangat.

***

"Selamat sore kawanku yang paling ganteenggg."

"Kesurupan apa lagi hari ini?"

"Dih gituuu bangeeet. Senyum sedikit kenapaaa."

Dan Jeonghan pun tersenyum lebar.

"Ngga usah senyum deh, mirip setan."

"Yeee!" Jeonghan hampir saja melempar buku kerjanya pada Ten yang datang-datang dengan senyuman lebar sekali.

"Kenapa sih keliatannya bahagia gitu?" Tanya Jeonghan, ia akhirnya penasaran kenapa temannya itu datang sambil tersenyum lebar sekali.

"Dikasih oleh-oleh sama Haechan."

"Oleh-oleh apa?"

"Ketemu sama papahnya." Ten tersenyum lebar sekali, bahkan Jeonghan bisa melihat semburat sedikit di-pipinya.

"Yang kaya gitu ko disebut oleh-oleh." Jeonghan menggelengkan kepalanya.

"Ngeliat bapaknya Haechan tuh ya jarang-jarang, jadi disebut oleh-oleh deh." Ten berujar, ia bersandar dimejanya, kepalanya pusing dan ia mengantuk setelah mengisi kelas seharian ini.

Pieces Of My Heart || jeongcheol.Where stories live. Discover now