Dia tidur telentang mengenakan hot pants dan kaus tipis yang pendek, yang sekarang tersingkap ke atas karena dia barusan garuk-garuk perutnya. Satu kaki lurus, satu kaki dilipat, satu tangan di perut, satu tangan memeluk guling, mulutnya mangap.

"Buronan sudah ditemukan," bisikku ke ponsel. Kuganti tampilan layar menjadi kamera belakang, lalu kusorot Romi di atas tempat tidur Edvan.

Edvan menghela napas lega. Dia menyugar rambut di kepalanya, tetapi itu melibatkan pergerakan bahu, sehingga dia mengaduh lagi. "Aw! Aw! Aw! Aw!" Bahunya yang dislokasi pasti terasa ngilu pas dia mengangkat tangan barusan.

"Oke, gue udah di dalam," kataku, pelan-pelan menutup pintu kamar. "Gue bekap dia pake bantal, atau gue siram pake air mendidih aja?"

Edvan terkekeh geli di seberang sana. "Jangan, dong," katanya, masih tergelak. "Entar dia mati."

Memang itu tujuannya, kan? Untuk apa lagi aku mengendap-endap masuk ke sini mencari Romi kalau bukan untuk membumihanguskannya?

"Jadi gue mesti ngapain?" bisikku, hampir tanpa suara. Aku berjalan mendekat, merapat ke dinding, nyaris saja menendang panci bekas memasak mi yang enggak tahu kenapa ada di dekat pintu.

Setelah tawanya reda, Edvan menarik napas panjang. "Elo masih ingat baju yang gue pake kemarin, kan?" katanya. "Baju item, celana item, sepatu item, jaket item, semua yang item-item."

"Ya! Baju nudis elo, kan?"

Edvan sudah membuka mulutnya untuk merespons, diam sebentar menimang-nimang, lalu memilih untuk enggak mendebatnya. "Iya. Yang itu. Oke, gue butuh elo nyembunyiin itu semua."

"Sembunyiin ke mana?" bisikku.

"Ke mana pun. Asal jangan ada di kamar gue."

"Why?"

"Please, jangan banyak tanya dulu. Tolong sembunyiin aja, jangan sampai Romi nemuin semua baju gue itu!"

"Oh, oh! Elo takut baju-baju elo itu diendus-endus Romi, ya? Dia punya fetish ngendus-ngendus baju orang, ya?"

Lagi-lagi Edvan seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi dia pikir-pikir dulu, akhirnya dia mengikuti saja kata-kataku. "Ya .... Dia punya ... itu," katanya pasrah. Dia enggak suka basa-basi kayaknya. "Oke, baju gue ada di antara tumpukan di situ."

Aku menatap seisi kamar Edvan. Kamar ini boleh dibilang cocok sebagai simulasi kapal pecah. Seakan-akan sebuah gempa terjadi di Tasikmalaya sana, getarannya terasa sampai ke sini, tapi hanya di kamar ini saja. Bukan di kamarku, bukan kamar Tino, bukan kamar Romi, spesifik di kamar Edvan. Karena tampaknya semua barang enggak ada di lokasi seharusnya. Baju-baju di lantai, di kursi, di rak sepatu, piring kotor di atas CPU, di atas lampu, botol-botol minuman kosong di bawah kasur ..., satu-satunya yang menyelamatkan kamar ini adalah penghuninya ganteng. Jadi kalau Edvan ngajak aku ngewe di sini, aku masih mau melakukannya.

"Elo enggak perlu beresin itu semua," kata Edvan tiba-tiba. Mungkin dia melihat reaksi mukaku yang berjengit melihat situasi kamar ini. "Coba cek di bawah meja komputer. Biasanya gue nyimpen kostum gue di situ."

Aku berjalan jinjit-jinjit ke tengah kamar, sengaja tidak menginjak apa pun agar tidak menimbulkan suara. Jantungku berdegup kencang seolah-olah yang tidur di atas kasur sana adalah seekor singa, sehingga aku tak boleh membangunkannya tiba-tiba. Di bawah meja komputer, memang ada kaus, celana panjang, jaket, sepatu, topi, kacamata, bahkan helm warna hitam. Semuanya dijejalkan bersamaan sehingga tampak berantakan.

"Ketemu," kataku. Kuarahkan kamera ke semua pakaian serbahitam itu. "Gue bawa keluar, ya?"

"Thank you so much!" Edvan merapatkan kedua tangannya, lalu meletakkan rapatan tangan itu di dahinya, tapi dengan begitu bahunya terangkat lagi, sehingga dia, "Aw! Aw! AAAWW!" sambil memegang bahunya yang sakit.

(1) Prank Personal Trainer (Reupload)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang