Tentang kebohongan Reni soal dia yang sejak kecil menetap di Malang, dan rahasia-rahasia lainnya yang belum pernah dia bagikan ke gue selama lima tahun kami menjalin hubungan—I knew everything from the beginning.

Tapi, gue sengaja memilih untuk diam. Gue pikir nggak akan butuh waktu lama bagi Reni untuk menceritakan semuanya, sampai minggu lalu dia membagi—hanya sedikit—di sela air matanya tentang apa yang dia rasakan—takutkan—tentang hubungan kami.

Dan jujur selama ini gue nggak pernah tahu. How would I know if she never told me everything? Meskipun gue tahu kalau Reni nggak baik-baik aja, gue nggak akan pernah bisa membantunya karena Reni berusaha menutup diri dari gue. What can I do, then?

Sejak malam itu—malam di mana Reni menangis di depan gue—gue mencoba mencari tau rahasia dan detail kecil yang sebelumnya nggak begitu gue pikirkan. Karena Reni nggak bersedia menceritakannya ke gue—meninggalkan gue tanpa clue malam itu—mengatakan kalau dia lelah dan membuat gue kembali harus menyerah—gue akhirnya mencari jalan gue sendiri, mencari tahu sendiri tentang apa yang sebenarnya wanita itu rasakan dan takutkan dari hubungan yang kami jalani.

Kalau Reni sudah menyadari tentang gue yang mengetahui semuanya sejak awal, gue yakin kalau sejak malam itu, Reni juga tau kalau gue nggak bakal diam aja.

"Alasan itu nggak masuk akal... Alasan ini nggak masuk akal..." Suara Jatmika membuat fokus gue kembali mengarah ke sahabat-sahabat gue yang ternyata masih membicarakan soal topik yang sama. "Alasan Reni nggak mau go public tinggal satu aja, sih..." Kedua alis gue terangkat, mendapati semua tatapan mengarah ke gue. "Reni malu kali punya pasangan kayak lo," katanya terdengar sangat santai.

Si brengsek ini berisik banget asli...

Dan kayaknya Narendra bahagia banget... "Kenapa nggak kepikiran, ya? Bisa aja, sih, La, Reni malu mengakui lo? Secara, ya, La... Ini Reni—"

"Lo kalau mau ngomong mending ngaca dulu, deh." Gue memotong ucapan Narendra dengan kalimat sarkas yang sudah pasti dia benci.

Buktinya kedua mata Narendra melotot, dia bahkan sudah mengangkat tangannya—hampir menghajar gue—sebelum Hestamma dan Jatmika menengahi dengan tawa keras mereka.

"Lo berisik banget sumpah!" Narendra menyentak pegangan Hestamma dan Jatmika dari bahunya, dan kembali mengisap rokoknya panjang.

Dih, nggak ngaca lagi dia? "Lo lebih berisik lagi," gumam gue pelan, membalas sebelum Algis dan Katon menatap gue datar seakan memperingatkan gue supaya gue diam selagi Narendra juga diam.

Setelah bermenit-menit setelahnya kami sama-sama diam, Hestamma yang pertama kali menghabiskan rokoknya menghampiri gue. "What do you want to do after this? About Frederic Simons, I mean."

Ini menjadi salah satu bagian dari detail yang sebelumnya nggak begitu gue pedulikan dan sekarang menjadi perhatian gue satu-satunya.

Gue menaikkan kedua bahu bersamaan, "I still didn't know what to do because I lacked precise knowledge about Frederic Simons. It's impossible because everything appears to be clean, which raises my suspicions." Gue menghela napas kasar, menyandarkan tubuh gue sepenuhnya ke dinding yang ada di belakang gue. "Nggak ada informasi apa pun soal alasan perceraiannya dengan Ibu Mita—Ibunya Reni. All of their divorce documents appear to have disappeared, as if they had never married in the first place. Do you think this makes sense?" tanya gue balik, menatap ke arah sahabat-sahabat gue.

Setelah mencoba mengingat dan mencari-cari, gue mendadak menemukan mengenai hubungan Frederic Simons dan apa yang ditakutkan Reni soal hubungan kami. Seperti apa yang barusan gue bilang, background dan profil Frederic Simons jelas berbeda dengan apa yang terjadi sebenarnya. Apa yang gue dapat dari 'orang' gue itu tentang Frederic Simons yang sempat menikah dengan Mita—Ibu Reni—dan sampai wanita itu hamil dan melahirkan Reni, lalu bercerai. Sementara apa yang terlihat di profil Frederic Simons di internet adalah pria itu nggak pernah menikahi siapapun sebelum menikahi Morgan Lizzy—istrinya sekarang.

BELL THE CAT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang