9. Melarikan diri?

Mulai dari awal
                                    

"Hey kacil tenang dulu ya.." Gibran menuntun sang anak untuk duduk di sofa lantaran ia tau kondisi anaknya yang satu ini saat ini jauh dari kata baik. Lihat saja dada Orion yang naik turun tak teratur padahal sudah ada selang oksigen yang melingkar menghiasi wajah tampan nan pucatnya.

"Ayah jelasin dulu apa yang terjadi? Ayah, mas Aka, mbak Ale, bang Kavin dan kak Zayn pasti marahin adek! Rion ga suka ya adeknya Rion di marahin dan di hakimi kaya gini, awas aja kalau kalian lukain adek Rion, lagian semua yang terjadi ga sepenuhnya salah adek!"

"Kita cuma mau ngasih pelajaran sama Rigel biar dia kapok dan ga melakukan hal yang sama lagi Orion. Apa yang di lakukan Rigel kemarin itu bisa membahayakan dirinya sendiri," Alaska yang sedari tadi diam pun akhirnya mengeluarkan suaranya yang terdengar dingin dan datar.

"Iya tapi ga kaya gini caranya mas, bisa di omongin baik-baik 'kan? Lagian itu bukan sepenuhnya salah adek, adek mau juga pasti karena di ancam!"

"Lho kamu pikir kita apain Rigel, kacil? Kita ga apa-apain Rigel, kita cuma mau nasehatin Rigel biar adek ga nakal. Emangnya kacil mau nanti adeknya melakukan kesahalan yang sama lagi? Engga kan? Begitu juga kami, bukan cuma kacil aja, kami juga kakak nya Rigel kami berhak memberi hukuman ataupun nasehat kalau Rigel berbuat salah," imbuh Kavin sedikit menusuk hati Orion.

"Kacil tenang ya, kita ga marahin adek kok, kita cuma kasih nasehat dan sedikit pelajaran sama adek. Mungkin adek belum bisa terima, tapi ayah yakin nanti mood adek akan membaik dengan sendirinya. Ayah juga nanti bakalan bicara lagi sama adek setelah mood adek membaik ya," ucap Gibran lembut seraya mengusap-ngusap dada sang anak yang masih naik turun tak teratur bahkan dapat Gibran rasakan detakan yang ada di dalam diri anaknya begitu cepat.

"Menjaga, menyayangi dan melindungi seorang adik itu harus, tapi bukan berarti kita membenarkan apa yang salah. Kejadian kemarin malam mungkin memang bukan sepenuhnya salah Rigel, tapi Rigel terlalu menuruti emosinya dan tentu itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Kamu boleh ngebela Rigel, tapi Rigel ga akan dapat pelajarannya kalau terus di bela sama kamu, Orion. Mas tau kamu ingin menjadi seorang kakak yang baik untuk Rigel, tapi ga gini caranya. Kalau Rigel salah ya dia harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah di perbuatnya, jangan terus melindungi Rigel dari kesalahan yang dia buat, atau dia ga akan pernah belajar dari kesalahan itu," ucap Alaska.

"T-tapi itu ga sepenuhnya salah adek mas, adek kaya gitu karena mau melindungi Rion juga.. Rion cuma mau jadi kakak yang baik, kakak yang bisa andalkan disaat Rion sendiri tau kalau Rion ga mampu, eungh.." lirih Orion diiringi dengan ringisan kecil di akhir kalimatnya. Tangannya terangkat untuk mengusap dada kirinya yang kini berdenyut nyeri.

"Iya Orion mas paham, tapi–" ucapan Alaska terhenti saat sang ayah menatapnya dengan menggelengkan kepalanya seolah-olah memberi gesture agar Alaska tak melanjutkan ucapannya.

"Yah?" Alaska menatap heran pada ayahnya.

"Nanti ya mas, waktunya kurang tepat.." ucap Gibran pelan, sangat sangat pelan.

"Eungh.." Orion kembali meringis pelan.

Aletta yang sejak tadi hanya diam memperhatikan pun kini mulai beranjak dari duduknya lalu berjalan menghampiri adik kecilnya yang sepertinya saat ini tengah merasakan sakit.

"Kacil.." panggil Aletta pelan seraya memeriksa kondisi sang adik dengan mengecek nadi Orion.

"Gimana mbak?" tanya Gibran.

"Kurang baik yah, lebih baik sekarang kita bawa kacil kembali ke kamar sambil nunggu dokter Arlen yang kemungkinan masih dalam perjalanan menuju kesini," jawab Aletta.

"Eungh a-ayahh.." tangan satunya lagi Orion gunakan untuk meremat lengan kemeja sang ayah.

"Sesak ya dek? Coba di batukin pelan pelan," titah Aletta seraya mengusap-ngusap pelan lengan kiri sang adik.

•What If Orion & Rigel Live Together•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang