Meskipun harus merelakan sedikit kepercayaan Reni dan membuat kekasih gue itu sedikit kecewa, I feel like there's at least a little more progress in our 5-year relationship that's just been going nowhere.

Miris, ya? Hanya untuk membuat progress di sebuah hubungan yang gue jalin, gue sampai harus menyakiti pasangan gue...

Mata gue mengerjap, menyipit tajam waktu merasakan pedih di bahu gue karena tepukan keras Werni yang cuma meringis waktu gue balik menatapnya tajam. "Sakit? Sorry, tidak ada unsur kesengajaan. Ini murni hanya ingin menyadarkan saja," katanya menjauhkan tangannya dari bahu gue.

Sialan, sakit banget ini bahu gue!

"Pak Santoso, sih, nggak ada ngomong apa-apa, but he did mention that the problem will be solved once the Adiwangsa family joins, which I took to mean that you joining in as their son-in-law is the solution for their family," terang Putra dengan nada jauh dari arti ingin mengejek gue.

Tapi, kenapa rasanya gue menangkap sesuatu yang berbeda?

Kalau apa yang dibilang Putra memang benar soal apa yang dikatakan Pak Santoso, gue dan keluarga gue semakin punya alasan yang jelas untuk nggak meneruskan perjodohan yang sejak awal nggak pernah gue setujui itu.

Bagus, deh. Gue nggak perlu repot-repot cari alasan lain.

Lagian, enak aja mau manfaatin gue sementara keluarga dia nggak membawa keuntungan buat gue sama sekali?

Yuwa menatap gue dengan kedua alis terangkat, "Terus gimana, Mas?" tanyanya. "Mau lo lanjutin? Dilihat dari lo selama ini, sih, udah pasti bakal—" Kepala Yuwa menggeleng, tahu benar apa yang akan gue lakukan setelah ini.

"Ya, kali mau gue terusin," sahut gue seadanya. Sebenernya, gue udah males banget ngebahas ini.

Dengkusan Werni membuat gue menoleh ke arahnya, "Dari awal juga lo udah nggak niat." Kepala gue mengangguk. "Tapi yang gue denger katanya nyokap suka?" sambungnya dengan rumor yang nggak tau dia pernah dengar dari mana. "Ini gue tau dari nyokap gue juga. Dia bilang Ibu Ainur kayaknya bener-bener klop sama Malaika."

"Nggak lagi." Jawaban gue membuat ketiga orang di dekat gue itu mengarahkan tatapannya ke gue dengan raut terkejut. "Kayaknya, sih, begitu," sambung gue, mengingat bagaimana Ibu keliatan nggak nyaman tadi siang di rumah waktu Malaika datang ke sana untuk makan siang bersama.

Obrolan kami harus terjeda waktu gue merasakan handphone gue bergetar di saku jas, dan membuat gue harus berjalan menjauh ke arah pojok taman belakang yang nggak banyak dilewati orang saat tahu nama siapa yang terlihat di layar handphone gue sekarang.

"Halo?"

Sumpah... Ini Reni duluan yang nelpon gue? Dia nggak salah pencet, 'kan? Eh, bukannya malah lebih bahaya lagi kalau Reni salah pencet?

"Kamu di mana?" Suara Reni di seberang sambungan terdengar jelas.

Oke, kalau begini berarti Reni benar-benar menghubungi gue. "Aku lagi di luar. Soiree di rumah keluarga Yuwa," jawab gue sambil berusaha menahan senyum.

Setelah seharian kami nggak saling menghubungi, ditambah sikap Reni yang sedikit dingin ke gue, sambungan telepon ini—yang Reni lakukan lebih dulu—jelas membuat gue senang bukan main.

Kening gue mengernyit waktu mendengar deheman Reni di seberang, "Kamu nggak bisa ke sini? Mampir ke kosan sebentar sekarang?" tanya wanita itu dengan nada bicara yang terdengar nggak biasa di telinga gue.

Ini... Reni sendiri yang minta, kan?

Gue buru-buru melempar pandangan ke penjuru taman belakang, ke arah beberapa tamu penting yang sebenarnya menjadi alasan jelas kenapa gue mau datang ke sini hari ini terlepas dari kesibukan gue yang rada nggak ngotak akhir-akhir ini. "Nanti, ya?" Gue menghela napas panjang, merasa bersalah karena nggak langsung bisa mengiyakan permintaan Reni yang sebenarnya gue harapkan juga. "Sebentar lagi, aku perlu ngobrol sama—"

BELL THE CAT (COMPLETED)Where stories live. Discover now