Tenggorokan Elena serasa tercekat. Wanita itu akhirnya tertular tangis Nilam dan turut menyeka ujung matanya.

"Haduuh, Bu. Udah lah. Jangan nangis terus. Gak bosen, apa? Nangis gak menyelesaikan masalah!" celetuk Romi yang tiba-tiba muncul di tengah keduanya.

Elena sampai bengong mendengar komentar Romi yang tak ada akhlak itu.

Excuse me! Ibumu lagi nangisin adikmu, karena adikmu lagi kurang waras gegara disantet orang! Give us a break! Dasar laki-laki #%=**!!

Saking kasarnya umpatan di hati Elena, ia sampai mensensornya.

"Mana ulama itu, yang katanya mau jenguk Rizal?" tanya Romi sambil membuka tutup minuman soda kaleng hingga terdengar suara desisan dan sedikit cipratan air di udara. Pria itu meneguk minuman soda dingin sambil berdiri bertolak pinggang.

Benar-benar, orang ini, batin Elena. Sama sekali tidak terpikir membelikan Nilam minuman atau apa. Beli untuk dirinya sendiri saja. Tidak perlu repot-repot membelikan minuman atau makanan untuk Elena yang ada di sini menjenguk Rizal. Setidaknya, belikan minuman untuk ibunya, kek!

"Ulama itu punya nama. Syeikh Yunan," komentar Elena yang mulai gatal untuk bicara dengan nada sinis lantaran mulai kesal.

"Iya. Syeikh siapa lah itu," sahut Romi sebelum meneguk lagi minumannya.

Elena mengatur napas, agar tetap sabar menghadapi makhluk di hadapannya ini.

"Sebaiknya dia tidak datang beramai-ramai," kata Romi.

"Iya. Saya sudah bilang sama beliau, supaya datangnya sendiri saja. Permintaan dari pihak keluarga Rizal, begitu kata saya," jelas Elena.

"Good. Sebaiknya begitu," komentar Romi dengan tampang menyebalkan, membuat Elena rasanya ingin menumpahkan sisa minuman kaleng Romi ke lantai.

.

.

Yunan terkejut melihat wartawan ramai di gerbang RSJ Sumitro Hardoyo. Masih ramai di luar teras lobi pengunjung juga.

Yunan mengeluarkan masker dari kantung jaketnya dan memakai masker itu sebelum turun dari mobil.

Berhasil. Tak ada yang menyadari identitas dirinya. Sebab jika wajahnya terekspos, pasti sudah ditanyai macam-macam.

"Saya ingin menjenguk pasien di ruang isolasi. Rizal Hamdan. Nama saya Yunan Lham. Sudah dapat izin jenguk dari keluarga Rizal," kata Yunan pada resepsionis di lobi.

Resepsionis memberi tahu lantai dan arah ruang tempat Rizal dirawat. Yunan berjalan menyusuri koridor dan menaiki lift. Begitu keluar dari lift, Elena segera menyadari sosok Yunan dari kejauhan.

"Syeikh!" seru Elena menghampiri Yunan, disusul oleh Nilam yang berjalan di belakang Elena.

Romi tetap berdiri di tempatnya, di luar ruangan isolasi, menatap malas ke arah tamu yang sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Dirinya ada di sini karena disuruh Ramdan, kakaknya.

"Rom, sana jagain Rizal. Kalau salah satu dari kita gak ada, gimana kalau nanti Rizal diapa-apain sama ulama itu?" kata Ramdan pada Romi semalam melalui telepon.

"Duh males banget. Emangnya Rizal bisa diapain sama dia? Bukannya sekarang pengunjung gak bisa masuk ke dalam ruangannya Rizal?" sahut Romi dengan nada enggan pada suaranya.

"Iya teorinya emang gitu. Tapi kalau ulama itu nekat mau berusaha ngeluarin setan apalah itu dari badan Rizal, nanti Rizal bukannya sembuh malah makin gila!"

"Ya ampun. Masa' aku cuti lagi? Nanti aku bisa dimarahin bos!" keluh Romi.

"Aku lagi dinas di luar kota! Kalau bukan kamu, siapa lagi??" bentak Ramdan emosi.

Begitulah. Itu sebabnya Romi ada di sini sekarang, di hari yang semestinya dia ngantor.

"Assalamu'alaikum," sapa Yunan tersenyum pada Romi sambil mengulurkan tangan.

"Wa'alaikum salam," sahut Romi datar. Ia menjabat tangan Yunan, layaknya sedang bersalaman dengan teman saja.

Wajah Elena terasa tegang. Mestinya cium tangan, sih. Tapi ya sudahlah. Selama pria bernama Romi ini tidak bicara serampangan di depan Yunan.

"Saya Yunan Lham, mewakili keluarga Danadyaksa, turut prihatin dengan kondisi Rizal saat ini. Kami sudah mendengar kronologisnya dari Bu Elena," kata Yunan sopan.

"Saya Romi. Terima kasih sudah menjenguk Rizal. Untuk informasi, Rizal sangat agresif. Dia bisa terlihat tenang kadang-kadang, tapi tiba-tiba melakukan gerakan yang tak terduga. Jadi dokter menyarankan supaya yang menjenguk Rizal, tidak perlu masuk ke dalam kamar. Anda bisa lihat saja dari luar." Romi terdengar separuh galak, separuh malas, seperti ingin Yunan segera menyudahi kunjungannya dan pergi saja.

"Oh begitu," komentar Yunan dengan ekor mata melirik ke dalam ruangan. Dari dalam sana, Rizal nampak waspada melihat kehadiran Yunan.

"Kalau begitu, saya mau mengamati Rizal dari sini dulu, kalau tidak keberatan," kata Yunan.

Romi nampak kecewa. Dia berharap Yunan hanya melihat kondisi Rizal sebentar lalu pergi. Tapi dari pernyataan Yunan barusan, terkesan Yunan ingin berada di sini lebih lama.

"Oh ya. Mohon maaf, ini ada sedikit dari keluarga kami. Mohon diterima," ucap Yunan seraya menyerahkan sebuah amplop pada Romi.

Mata Romi nampak berkilauan, setelah tanpa malu ia melirik isi amplop. Sejumlah uang yang ada di dalam sana, telah meng-cover bahkan melebihi biaya pengobatan Rizal hingga hari ini.

"Mungkin tidak banyak. Kami harap, hadiah yang sedikit ini bisa membantu beban pengobatan Rizal."

"O-Oh tentu! Ini sangat membantu sekali! Terima kasih!" kata Romi sebelum melipat amplop dan menyimpannya di kantung celana.

"Semoga keberadaan saya di sini untuk menjenguk Rizal, tidak mengganggu Pak Romi sekeluarga," ucap Yunan tertunduk sopan.

"Oh! Tidak! Sama sekali tidak mengganggu! Silakan jenguk Rizal selama yang anda mau! Saya keluar dulu, mau ke kantin." Romi benar-benar pergi. Elena menatap ill feel lelaki itu. Kasihan sekali Rizal, punya kakak seperti dia.

Yunan menoleh ke arah Nilam. "Nyonya, saya memang bukan ahli ruqyah, tapi apa boleh saya mencoba menyembuhkan Rizal?" tanya Yunan.

Air mata Nilam menetes. Entah mengapa, dia merasa ada harapan cerah ketika mendengar permintaan Yunan.

"T-Tentu boleh, Syeikh!" jawab Nilam antusias.

"Tapi, untuk itu, saya perlu menyentuh Rizal," lanjut Yunan.

Nilam dan Elena saling tatap.

"Boleh, Syeikh! Silakan masuk. Tapi ... nanti kalau Rizal mengamuk, ... ," kata Nilam ragu, sambil melirik Elena seolah meminta saran.

"Nanti kalau Rizal mengamuk sampai bisa melepas ikatannya lagi, saya akan panggil perawat, Tante!" Perkataan Elena terdengar berusaha meyakinkan Nilam.

"Baiklah. Hati-hati, Syeikh." Nilam setuju akhirnya.

Pintu ruangan dibuka. Yunan masuk ke dalam dan menutup pintu.

Perlahan mata Rizal mendelik saat melihat Yunan mendekat ke arahnya.

Yunan berdo'a seiring langkahnya mendekati Rizal. Memohon kepada Allah agar dibukakan hijab.

Dan dia melihatnya. Jin berambut panjang dan berwajah jahat itu, bersarang di otak Rizal.

"Assalamu'alaikum, Rizal," sapa Yunan meski tahu salamnya tak akan dibalas melalui mulut Rizal.

Lutut Rizal menekuk. Sepasang matanya memerah hingga urat di putih matanya nampak.

"Mau apa kau, Yunan Lham??" tanya Rizal dengan suara yang membuat bulu kuduk berdiri.

Elena dan Nilam yang mengamati dari luar jendela, sam-sama menutup mulut, syok dan ketakutan mendengar suara parau itu yang jelas bukan suara Rizal.

"Aku tidak menyapamu, tapi menyapa Rizal Hamdan yang ada di dalam sana," kata Yunan menunjuk ke arah hati. Bukan organ hati yang dia maksud, namun sebuah tempat dimana kesadaran Rizal terperangkap.

.

.

***

ANXI EXTENDED 2Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin