"Kamu gak usah turun, Rae," cegah Yunan saat melihat Raesha seperti akan menuruni anak tangga dan mengantar dirinya sampai memasuki mobil.

"Tapi ... ," ucap Raesha ragu.

"Nanti perutmu sakit. Kamu lagi hamil tua. Jangan aneh-aneh," kata Yunan bersikeras.

Raesha menurut meski terlihat terpaksa.

Arisa yang akhirnya menuruni tangga bersama Yunan, saling menggenggam tangan.

Raesha menundukkan pandangan. Sesuatu dalam rongga dadanya serasa diremas. Perasaan itu bertambah saat Arisa sempat memeluk Yunan sebelum Yunan masuk ke dalam mobil.

Arisa tersenyum di balik cadarnya. Dia merasa bersalah sebenarnya. Tahu bahwa Raesha masih mengamati mereka dari atas sana.

Yunan melambaikan tangan pada Raesha setengah kikuk. Dia tidak menyangka istrinya akan memeluknya di depan Raesha. Entah mengapa, ada perasaan bersalah yang sulit dijelaskan. Padahal Arisa istrinya. Tapi bermesraan dengan Arisa di depan Raesha, terasa ... salah.

Raesha membalas lambaian tangan Yunan. Memaksakan tersenyum meski bibirnya terasa kaku. Lalu tanpa menunggu Arisa menaiki anak tangga, Raesha masuk ke dalam rumah, merutuki dirinya sendiri dalam hati.

Mereka suami istri. Jadi wajar saja. Aku lah yang tidak wajar. Perasaanku, tepatnya.

.

.

Nilam dan Elena mengintip dari luar ruangan isolasi. Tadinya mereka diizinkan duduk di dalam ruangan, dengan jarak tertentu dari Rizal yang diikat dalam posisi telentang.

Tapi semenjak Rizal pernah berhasil lepas dari ikatan, lalu menyerang dua orang perawat, orang yang menjenguk Rizal hanya boleh melihat dari luar kaca.

Elena bergidik saat melihat wajah Rizal menatapnya dengan seringai jahat. Padahal baru saja Rizal diberi obat penenang. Semestinya dia tidur atau istirahat.

Nilam malah kembali meleleh air matanya. Sedih sekali rasanya melihat anak bungsunya jadi seperti itu.

Elena merangkul Nilam. "Yang sabar, Tante. Ini cobaan dari Allah," ucap Elena.

Dalam pelukan Elena, wanita yang telah melewati paruh baya itu, mengangguk pasrah.

"D-Dia anak Tante yang paling sayang sama Tante, Elena!" ucap Elena di antara tangisnya. Romi, kakak tengah Rizal, sedang di lobi mengurus administrasi.

"Jangan begitu, Tante. Kakak-kakaknya Rizal juga sayang sama Tante," kata Elena berusaha menghibur.

Yang diceritakan oleh Nilam berikutnya, malah membuat Elena emosi. Ternyata dulu Nilam pernah nyaris dimasukkan ke panti jompo. Ide Ramdan dan Romi. Rizal dengan tegas menentang ide itu.

"Ibu biar tinggal denganku saja!" kata Rizal lantang. Waktu itu, rumah almarhum bapaknya Rizal, baru saja dijual, dan uang hasil penjualan rumah, dibagi rata karena saat itu Ramdan dan Romi memerlukan uang tunai untuk membeli rumah mewah. Sementara Rizal memilih mengontrak rumah mungil.

Nilam sempat berpikir untuk tinggal di rumah salah satu kakak Rizal yang status kepemilikannya lebih jelas, tapi rupanya keduanya keberatan jika ibu mereka tinggal di rumah mereka. Salah satu alasannya adalah karena istri mereka tidak menyukai ide itu.

"Ibu tinggal di panti jompo aja. Nanti kami bertiga tanggung biayanya," ceplos Ramdan waktu itu, disetujui Romi.

"Selama aku masih hidup, aku gak rela Ibu tinggal di panti jompo!" seru Rizal waktu itu.

Mengenang momen itu membuat Nilam berkaca-kaca matanya. Memang, besarnya cinta anak pada orang tua, baru akan teruji saat orang tua mulai renta.

"Rizal anak yang sangat baik. Sangat baik. Sangat berbakti pada orang tuanya," ucap Nilam berlinangan air mata.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now