Bab 2: Presisi

935 31 2
                                    

Minggu pertama di hari Selasa, ada yang baru bagi Rachel. Dia sudah diperbolehkan membawa motor ke sekolah. Sejak dulu, orang tuanya melarang membawa motor karena kecelakaan parah yang dialaminya waktu kecil ketika belajar sepeda.

Rachel yang sedang melepaskan helm dengan wajah cerah, tiba-tiba memasang wajah menyeramkan. Afifa, teman Rachel sejak SMP, melihat perubahan itu, langsung bersikap manis. “Lo kenapa, Hel?” tanya Afifa saat mereka berjalan dari parkiran menuju lantai dua. Hari ini mereka berangkat bersama. Jarak rumah Rachel dan Afifa tidak jauh, hanya beberapa blok. Sekitar sepuluh menit berjalan kaki dan kurang tiga menit menggunakan motor.

“Lo lihat cowok pake motor sport hijau mentereng yang barusan lewat, nggak?” balas Rachel sembari memasukkan kunci ke tas. Dia memandang sekeliling seakan takut ada yang mendengar.

Afifa menggeleng. “Enggak. Motor hijau yang mana, sih? Jangan aneh-aneh deh, Hel.” Afifa memandang area parkiran, mencari motor warna hijau yang dikatakan Rachel, tapi dia tidak menemukan motor yang dimaksud. Entah matanya bermasalah, atau Rachel yang kurang bisa melihat jelas.

“Nggak apa-apa kalo lo nggak lihat. Dia itu suka nebar sial. Gue masuk selokan gara-gara dia.”

“Masuk selokan? Lo bercanda? Gimana kronologinya?”

Rachel pun menceritakan kejadian yang menimpanya dengan berlebihan. Afifa hanya mendengarkan. Sambil bercerita, mereka menuju ruangan kosong di ujung lorong lantai dua. Di sana, cahaya matahari menyeruak hangat, menebarkan semangat pagi. Hanya saja, tempat itu sepi dan jarang dilewati orang. Selain letaknya paling ujung, ada yang bilang jika itu tempat bunuh diri dua siswi tiga tahun lalu.

“Pasti cowoknya keren, kan? Biasanya, badboy gitu digilai cewek-cewek. Kapan-kapan lo kenali gue ke dia dong,” Afifa membayangkan tipe-tipe cowok badboy yang sering dibacanya di novel.

“Nggak trauma juga lo sama cowok begituan?” tanya Rachel dengan pandangan kasihan bercampur geli. Kalau sudah bahas cowok, imajinasi Afifa bisa ke mana-mana.

Afifa menggeleng. “Gue belom pernah naksir cowok badboy. Pertama, pernah suka ama kakak kelas waktu SMP yang jago taekwondo. Abis itu naksir adek kelas yang nggak pernah peka kalo dia itu imut.”

Sebelum masuk ruangan, mereka berpapasan dengan guru biologi yang gampang panik. Rachel tersenyum dan menyapa dengan sopan, sedangkan guru itu hanya memandangnya dengan kening berkerut, kemudian melangkah cepat-cepat, seakan melihat sesuatu yang aneh.

Setelah guru itu menjauh, Afifa lanjut bicara sambil masuk ke ruangan, “Tapi cowok jago olahraga kayak Mahar juga keren, sih. Atau cowok dingin kayak Lionel yang bikin meleleh. Atau cowok pinter dan jago bikin kata-kata kayak Jas—” Afifa tiba-tiba menghentikan ucapannya, memandang Rachel dengan wajah bersalah. “Oke deh, Hel. Nanti kita lanjutin. Gue penasaran banget ama berandalan yang lo omongin itu,” kata Afifa, berusaha mengganti topik.

Rachel hanya mengangguk, lalu melangkah keluar ruangan karena bel sebentar lagi berbunyi. Sesampainya di kelas, sudah banyak murid yang datang. Rachel menuju bangkunya, duduk dan mengeluarkan buku catatan. Pelajaran pertama hari ini biologi. Guru yang bertemu di koridor tadi suka memberi kuis dadakan. Namun beruntung, hari ini pertemuan pertama, jadi tidak ada materi minggu lalu yang akan dijadikan kuis.

Pikiran Rachel tidak fokus ketika guru biologi itu menerangkan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Dia merindukan Lionel dan Jason. Rindu pertengkaran mereka. Rindu gombalan Jason yang membuatnya tak bisa berkata-kata, dan rindu sikap protektif Lionel yang membuatnya aman sekaligus deg-degan.

Ketika pikirannya semakin larut akan masa lalu, tiba-tiba dia melihat bayangan seseorang berlari di koridor sambil menendang tong sampah. Althaniel. Siapa lagi kalau bukan dia? Adakah orang waras yang berlari saat jam pelajaran sambil mengeluarkan suara gaduh? Atau berlari di tengah lapangan upacara memakai seragam pramuka?

Refleks, Rachel bangkit, membuat konsentrasi seisi kelas menjadi teralihkan. Rachel salah tingkah dipandangi seperti itu. “Maaf, Bu. Saya mau izin ke toilet sebentar.” Dia berjalan secepat mungkin meninggalkan kelas.

Sesampainya di luar, Rachel tidak menemukan Althaniel. Lalu dia menuruni tangga menuju parkiran, memastikan motor Althaniel. Setelah itu, Rachel menuju kantin belakang sekolah yang menjadi sarang para berandal.

Setengah jalan menuju sana, Rachel baru sadar. Kenapa dia harus tahu apa yang dilakukan cowok itu? Padahal bukan urusannya. Namun tetap saja, rasa penasaran itu mengalahkan semua logika.

Rachel menuju kantin yang belum pernah didatanginya, melewati lorong belakang sekolah yang sangat dihindari selama ini, lalu memanjat pagar sekolah setinggi dada. Ketika melewati pagar itulah, Rachel kepergok guru agama.

Terciduk memanjat pagar pada jam pelajaran adalah pelanggaran serius, apalagi menuju kantin yang diisi segerombolan cowok merokok. Beruntung Rachel tidak dibawa ke ruang BK, hanya diceramahi panjang lebar sampai dia tidak ingat apa yang dikatakan guru itu.

“Tiap ketemu cowok itu, gue selalu sial.” Rachel mempercepat langkahnya menuju kelas karena hampir melewati batas izin ke toilet. Dia mengambil jalan pintas melewati ruang koperasi, kemudian naik ke lantai dua dari tangga yang berlawanan.

Sesampainya di kelas, kuis baru saja dimulai. Rachel berjalan ke meja diiringi pandangan curiga dari guru biologinya. Terrnyata penderitaan Rachel bukan sampai situ, ketika baru mengenyakkan tubuh di kursi, matanya terbelalak saat membaca kuis di papan tulis. Pertanyaan kuis seputar proses perkecambahan, macam-macam perkecambahan, dan jenis-jenis hormon tumbuhan. Rachel tidak tahu sama sekali karena tidak menyimak satu pun penjelasan sejak awal.

***
Biasanya, orang yang paling tidak ingin ditemui, malah acap kali bertemu dengan kita. Seakan muncul kapan pun. Begitulah yang Rachel alami. Siangnya, saat menunggu Afifa keluar kelas, dia kembali bertemu Althaniel di samping perpustakaan, yang dulunya tempat favorit Rachel dan Jason menghabiskan waktu ketika jam istirahat.

Althaniel berbaring di kursi panjang yang biasa Rachel duduki. Wajahnya ditutupi buku, satu kakinya terjulur ke bawah, satu lagi ditekuk dengan bertopang pada sandaran kursi. Napasnya naik-turun di bawah bayang-bayang pohon ketapang yang sejuk.

Rachel ingin cepat-cepat menyingkir karena tidak mau kena sial lagi. Dia sudah kapok diceramahi dan mendapat predikat jelek dari guru agama, ditambah kesan buruk guru biologi di minggu pertama kelas dua belas.

“Rachel!” Althaniel bangkit dari kursi.

Rachel membeku. Dia memutar tubuh. Tidak mungkin ada orang tidak dikenal tiba-tiba tahu namanya, seolah mereka sudah kenal lama. “Dari mana lu tahu nama gue?” cicit Rachel. Dia menelan saliva dua kali karena mendengar suaranya begitu asing.

Althaniel mendongak dan memejamkan mata, kemudian tersenyum sinis. “Semua orang juga tahu kalo nama lu itu, Rachel.” Althaniel menunjuk name tag di dada kanan Rachel.

“Oh!” Hanya itu reaksi Rachel setelah menyadari kebodohannya. Bagaimana mungkin dia lupa kalau ada namanya di seragam?

“Soal semalam, gue minta maaf. Harusnya gue bantuin lo keluar dari selokan.” Cowok itu berjalan ke arah Rachel dengan langkah santai.

Rachel beringsut ke belakang, seakan takut Althaniel melakukan hal yang tidak wajar. Althaniel melangkah lebih dekat lagi. Rachel hanya terpaku. Aroma itu kembali menyergapnya ketika cowok mendekat. Aroma angin laut yang segar.

“Jadi, lu udah maafin gua?” tanya Althaniel lagi.

“Oh, nggak apa-apa, gue yang ceroboh. Lo nggak perlu minta maaf,” ucap Rachel cepat. Bukan itu yang ingin dia katakan, tapi mulutnya lebih dulu mengambil alih.

“Bagus kalo gitu. Gua kira lo bakal nyalahin orang lain atas semua yang terjadi. Biasanya, orang selalu mencari sesuatu yang bisa disalahin apabila dihadapkan pada persoalan yang nggak diinginkan.”

“Gue nggak pernah nyalahin siapa pun dalam hidup gue,” balas Rachel, agak merasa tersinggung dengan ucapan Althaniel. Walaupun dalam hatinya memang menyalahkan cowok itu.

“Ini punya lu, kan?” Althaniel memperlihatkan sebuah buku cokelat tua yang diselipkan berbagai macam benda. Ada bekas sepatu di sudut kiri dan tumpahan air di bagian kanan.

Rachel memeriksa tasnya dengan cepat, lalu mengangguk sambil mengacungkan tangan untuk meminta buku itu.

Althaniel tersenyum dan membuka halaman buku itu secara acak, lalu membacanya. “Ada tiga jenis ikatan kimia dalam atom. Ikatan ion, kovalen, dan logam. Menurutku, ada satu ikatan lagi, yaitu ikatan kamu dan aku. Ikatan yang tarik-menarik antarmolekul hati yang menyebabkan perasaan menjadi stabil—”

“Jangan dibaca! Itu milik pribadi dan lo nggak boleh baca seenaknya.” Rachel mengulurkan tangan meminta buku itu. Dia tidak suka jika ada orang yang mengetahui hal-hal pribadinya.

Althaniel memandang Rachel dengan wajah mengejek. “Hah? Buku ginian aja harus minta izin bacanya? Nih, gua balikin. Nggak ada untungnya juga.”

Rachel mengambil buku itu dan langsung memasukkannya ke tas. “Makasih udah dikembaliin. Gue nggak sadar kalo buku itu terjatuh. Pasti pas lari kemarin.”

“Ya, bisa jadi,” kata Althaniel sambil melangkah lebih dekat. “Kenalin, Althaniel Arson.” Cowok itu mengulurkan tangan.

“Oh, nama gue, Rachel.”

“Udah tahu. Tadi gue kan panggil nama lo.”

“Oh iya, gue lupa.” Rachel bagaikan baru tersadar dari kebodohannya untuk kedua kali. Tidak biasanya dia bersikap seperti itu.

“Ya udah, gue pergi dulu, ya,” kata Rachel lagi tanpa berniat menunggu jawaban Althaniel.

Rachel berjalan meninggalkan area sekolah dengan langkah ringan. Saat memasuki gang, Rachel mengeluarkan buku catatan Jason. Dia membaca halaman di mana dia bertemu dengan Lionel pertama kali dan awal hubungannya dengan Jason memburuk.

The Boy with the Hidden HurtWhere stories live. Discover now