CHAPTER 9

128 15 1
                                    

THIS CHAPTER CONTAIN DANGEROUS AND TERRIFYING SCENES THAT MIGHT TRIGGERS SOME READERS.

________________________________

SEMALAMAN BEAU TIDAK BISA berhenti memikirkan tentang sosok Jealachi yang pergi bersamanya ke toko buku dan duduk berdua di kafe selayaknya manusia biasa. Apa alasan di balik tindakannya yang ingin terlihat bersama dengan Beau di mata manusia lain? Dia seolah ingin membuktikan sesuatu kepada Beau, sesuatu yang masih belum bisa Beau pahami. Beau tidak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Ia merasa seolah-olah Jealachi sedang berusaha bermain dengan pikirannya—atau mungkin perasaannya.

Setelah itu, ia malah nyaris dikuasai ketakutan.

Makhluk itu membuatnya merasakan terlalu banyak hal. Jika memikirkannya lagi, Jealachi seperti sedang mempelajari segala sesuatu tentang Beau. Dia mengobservasi ekspresi Beau, mengamati reaksinya. Apa yang sebenarnya tengah direncanakan oleh Jalachi?

Saat sudah naik ke tempat tidur, Beau tiba-tiba mendengar sebuah suara yang asalnya dari jendela kamar. Beau menyibak selimut dari kedua kakinya lantas berjalan pelan ke arah sumber suara misterius itu. Sepertinya, ada seseorang di balik jendela.

"Jealachi?"

Beau tidak menyangka akan menemukan pria itu tengah melayang di depan jendela kamarnya yang ada di lantai dua. Suara yang tadi ia dengar rupanya berasal dari kepakan sayap Jealachi.

"Hei," sapa pria itu tersenyum di tengah cahaya yang temaram. Mengejutkan, Jealachi terlihat memakai setelan kemeja hitam dan jas dengan warna senada malam ini. Beau lantas membuka pengait jendelanya pelan-pelan tanpa ingin menimbulkan suara apapun.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin menunjukkanmu sesuatu." Jealachi maju ke depan, berusaha melayang lebih dekat, membuat Beau meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Sstt, ini sudah malam, orang tuaku bisa dengar."

"Tidak akan dengar kalau kita tidak berisik."

Pria itu kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Beau begitu saja, seolah tidak mau menerima penolakan apapun. Sekali lagi, tindakannya itu lembut, namun di saat yang bersamaan terasa mengintimidasi.

"Mereka akan marah besar kalau sampai aku ketahuan," kata Beau masih mencoba mencari alasan untuk menolak, walau ia tahu itu tidak ada gunanya.

"Ayolah, tidak akan lama."

Beau melirik ke arah pintu kamarnya sejenak sebelum menatap Jealachi kembali. Ia selalu mengunci pintu kamarnya setiap malam, seharusnya orang tuanya tidak akan datang memeriksa dirinya nanti. Setelah mengalami pergolakan batin yang rumit, Beau akhirnya menyerahkan tangannya kepada Jealachi. Pria itu menyambut tangan Beau dengan ekspresi gembira.

Perlahan Beau melangkahkan kakinya keluar dari bingkai jendela sementara Jealachi menyambut tubuhnya dengan hati-hati. Udara malam menggelitik permukaan kulit Beau di balik piyama tipis yang ia gunakan, membuat tubuhnya sedikit bergetar, dan secara reflek memeluk kedua bahu kokoh milik Jealachi. Pria itu meletakkan salah satu tangannya di balik punggung Beau sementara tangan yang satunya menahan kedua kaki pemuda itu. Mereka meluncur turun ke arah halaman belakang rumah Fabio dan mendarat dengan mulus.

Begitu menginjak tanah, satu hal yang Beau sadari adalah ia melihat sebuah mobil sport mewah berwarna oranye metalik yang menyala terparkir di halaman belakang rumah Fabio. Ia menganga takjub selama beberapa saat sebelum menoleh pada Jealachi yang berdiri di sisinya.

"Dari mana kau mendapatkan mobil ini?"

"Menurutmu dari mana?" tanya Jealachi balik. Kedua tangannya dilipat ke depan dada.

The Black Feathers [FORCEBOOK]Where stories live. Discover now