2. Dipenjara lagi!

19 1 0
                                    

Namanya Nurma, gadis dari daerah pelosok Sumatera Barat, berusia 13 Tahun, dengan rambut terkepang dua. Nurma bisa dibilang paling cantik di antara anak-anak yang lain. Tubuhnya tinggi dan tidak terlalu gemuk, matanya lebar, dengan bulu-bulu mata nun lentik, alis yang melengkung indah. Kulit yang putih dan bersih.

Nurma sejak kecil suka mengaji, mendengarkan cerita-cerita nabi dan rasul dari guru ngajinya. Sebab itu ia jadi suka buku-buku cerita, ia hobi membaca buku cerita lalu setelahnya ia akan menceritakannya pada teman-temannya di pondok pondok sawah sembari bermain.

Nurma, gadis yang cerdas dan mandiri. Ia anak yatim sejak bayi, ia hanya tinggal bersama Mamak, Uni, dan Abang Iparnya. Siang hari ia habiskan bermain bersama teman-temannya sembari menunggu Mamak bekerja di sawah. Sawah itu adalah warisan satu-satunya yang Mamak punya dari almarhum suaminya.

"Nurma, mari balik!" Suara Mamak, kalau Mamak sudah memanggil artinya pekerjaan Mamak di ladang sudah selesai. Dan harus kembali pulang.

"Iyo, Mak!"

***

Saat sampai di rumah Nurma cepat cuci kaki dan masuk ke dalam rumah, sedangkan Mamak masih mencuci sandalnya yang penuh lumpur.

"Nurma! tengok Uda Ri bawa apa nih untuk Nurma!" Nurma menoleh, melihat Abang Iparnya sedang memegang sebuah kotak besar. Kakinya melangkah mendekati suami Kakaknya itu.

"Eh apatuh, Da? Besar nian," ucap Nurma terkesima dengan kotak besar itu.

"Bukaklah! Uda beli untuk Nurma," Nurma tak tanggung senang bukan kepalang. Dia membuka cepat kotak besar itu, dan ternyata sebuah boneka besar yang mulutnya bisa bergerak bila kita memasukkan tangan ke dalam badannya.

"Wah!" Nurma tercengang, mengambil boneka berwarna ungu itu, lalu memasukkan tangannya ke dalam badan boneka, dan menggerakkan mulut boneka tersebut.

"Hai, hallo namaku. Eh, siapa ya namonyo!" Ucap Nurma sembari menirukan suara anak-anak umur lima tahun yang masih cempreng.

"Hiih apo tu, Ridho?" Mamak masuk ke dalam rumah dan melihat Nurma sudah memegang boneka yang sangat besar.

"Uda Ridho, inyo nabung, Mak. Buat beli boneka yang Nurma mau nian tu," ujar Uniang Risa, kakak kandung Nurma, suami Uda Ridho.

"Ondeh mandeh, terimo kasih Ridho, susah-susah pasti kau nabung beli boneka ko," ujar Mamak, sembari tersenyum melihat Nurma dengan senang tengah memainkan boneka itu. Jangankan boneka sebesar itu bahkan boneka kecil saja Mamak belum sanggup belikan.

"Siapo yo Mak, nama boneka ko?" tanya Nurma.

****

"Waktu Ibu dibelikan boneka itu, Ibu sangat senang sekali, tapi Ibu baru tahu bahwa boneka itu adalah awal mula kehancuran Ibu, boneka itu jebakan Ra, BONEK ITU JEBAKAN BUAT IBUUU HIKS," Ibu berteriak dan menangis sekencang-kencangnya. Ia bahkan menggenggam erat batang rokok yang menyala, menghacurkan batang rokok itu dengan tangannya.

"Ibu, tangan Ibu bisa kebakar." Aku langsung membuka telapak tangan Ibu dan membuang sisa batang rokok yang telah hancur itu, terlihat kulit telapak tangan Ibu memerah, kulitnya melepuh terkelupas.

Segera aku berlari ke dalam mengambil pasta gigi di kamar mandi, saat ingin kembali ke luar, aku melihat boneka ungu di atas lemari.

Aku keluar dan mengoles tangan Ibu yang melepuh dengan pasta gigi. Ibu terlihat melamun, entah memikirkan apa, biasanya memang habis minum obat, Ibu terlihat sedikit normal, setelahnya banyak melamun, lalu jika reaksi obatnya sudah habis Ibu kembali macam orang gila.

***

Pagi ini, seperti biasa pabrik roti dengan mesin-mesin besarnya sudah menunggu. Para buruh mulai berdatangan pada posisi kerja mereka. Zaman ini tenaga manusia nampak sudah tak terlalu diperlukan. Lihatlah robot-robot itu bolak-balik dengan tenaga listrik mereka. Bekerja berkali lipat daripada manusia, tak butuh istirahat, dan tak mengeluh dipekerjakan. Tepung mulai dituangkan masuk ke dalam mesin-mesin yang berputar mengaduknya. Seperti mixer raksasa, selain tepung mentega juga dimasukan kedalamnya, dan bahan lainnya. Mesin itu dengan tenaganya mengaduk adonan tersebut hingga kalis.

Mesin lainnya mulai bekerja untuk memotong-motong adonan sesuai dengan ukurannya. Mesin lainnya mengambil adonan tersebut lantas dimasukkan ke dalam oven, dan setelahnya roti yang matang akan dimasukkan ke dalam plastik pembungkusnya. Lalu para buruh kerjanya apa?

Mereka hanya memasukkan bungkusan-bungkusan roti tersebut ke dalam kardus. Ya memang itu, tenaga manusia seolah sudah tak berharga. Mesin-mesin besar itu berhasil mengambil alih seluruh pekerjaan dan menghasilkan keuntungan berkali-kali lipat.

"Aurora," suara lantang itu masuk jelas ke dalam telingaku.

"Iya, Buk!"

"Besok, kamu tidak usah datang ke pabrik lagi."

Para buruh lain nampak terkejut, mereka mencuri-curi pandang ke arahku. Suara mesin-mesin besar memenuhi ruangan ini.

"Kenapa Buk?" Wajahku masih biasa saja, datar.

"Kemarin kamu meninggalkan begitu saja pekerjaanmu, dan itu bukan kali pertama Aurora, pabrik ini bukan milik Ibumu." Sarkasnya, dia seorang mandor di pabrik ini, dia yang mengurusi keseluruhan pekerjaan karyawan.

"Baik, Bu." Semudah itu? tanpa bantahan? ya, karena aku sudah terbiasa dipecat sebab kasus yang sama.

***

Dua bulan aku bekerja di pabrik roti, ternyata hanya bisa selama itu. Lumayanlah, dari pada sebelumnya baru enam hari aku bekerja di Indomaret sudah dipecat sebab hal yang sama, di tengah bekerja aku pergi hanya untuk meminumkan Ibu obat. Rekan kerjaku langsung melapor pada pemiliknya dan aku kembali dipecat. Ini sudah pemecatan ke 23 kali dalam hidupku. Tidak apa-apa, masih banyak pekerjaan di muka bumi ini yang membutuhkan tenaga manusia yang memiliki seorang ibu pengidap penyakit jiwa.

Keluar dari pabrik aku berkeliling kota Jakarta sebentar, berjalan-jalan di malam hari yang nampak tenang, namun tidak untuk orang yang berada dalam mobil-mobil mewah di sepanjang jalan sana, mereka tengah berkeringat mengejar pundi-pundi kekayaan tanpa henti.

Sembari berjalan aku menatap masjid, sejak usiaku lima tahun aku sudah lupa bahwa ada Tuhan di dunia ini. Tuhan sudah mencuri apa yang aku miliki termasuk pekerjaanku di pabrik roti. Lama bergelut dengan pikiran tak bertepi aku memilih berjalan menuju rumah. Dari kejauhan nampak seorang wanita bertubuh besar dengan sanggul tinggi di atas kepalanya, dan lipstik merah terang baru saja mampir dari rumah kontrakan tiga petak itu.

Aku melangkah melewati pintu dan melewati saja adik perempuanku yang memakai celana pendek, tangan kanannya asik memoles layar ponselnya, tangan kirinya memegang batang rokok, menghisapnya dengan penuh kenikmatan.

"Uni, Bu Lia barusan ke sini, dia nagih uang kontrakan."

"Tiap hari kan kamu kerja, kali ini kamu yang bayar uang kontrakan," ujarku lalu berlalu masuk ke dalam, menyangkutkan tas sandangku ke atas paku di tembok.

"Uang aku udah habis, gak ada uang." ujar adikku itu.

"Aku juga udah gak ada uang." ujarku singkat sembari membuka ikat rambutku dan mengambil handuk bersiap ingin mandi.

"Lah, terus gimana?"

"Gak tau, mungkin habis ini kita tinggal saja di kolong jembatan, gratis kan."

Aku lalu beranjak masuk ke kamar mandi, keran air mulai terdengar menyala. Adikku itu juga nampaknya tak peduli soal ucapanku tadi. Ibu yang sejak tadi duduk saja di pinggir kasur mulai berjalan ke ruang depan mendekati Adikku, dan mengambil sebatang rokok. Berjalan ke teras dan duduk manis sembari menikmati rokok yang ia ambil dari adikku.

Aku baru kelar mandi ketika batang rokok di tangan Ibu sudah habis.

"Uni Nurma! Aurora, Lula!!"

Suara teriakan dari luar itu mengejutkanku, aku dan adik perempuanku bergegas ke luar. Aku lihat wanita berdaster dengan tubuh penuh daging, berlarian menuju rumah kontarakan ini sembari bersorak memanggil nama Ibu, namaku, dan nama adik perempuanku.

"Uni Nurma!" napasnya tak karuan.

Ibu hanya diam saja melihat wanita itu engos-engosan.

"Ada apa, Teh Ratna?" tanyaku.

"Aurora, ituloh adikmu, si Ibnu di tangkep polisi gara-gara ketahuan beli narkoba." ujar cemas wanita berdaster kembang-kembang itu. Sepertinya hanya dia yang nampak cemas, bahkan setelahnya baik aku, Ibu, ataupun Lula terlihat biasa saja.

"Ketangkep lagi." ujarku santai, seolah itu adalah hal yang biasa terjadi.

***

Guys! Komen ya buat semangat authornya🫶

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Feb 15 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Dongeng Ibu Kala SenjaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt