Saya berteriak dari luar pintu kamar, bilang kalau lampu tidak mati. Tapi Rizal diam saja. Saya pikir, dia mungkin tidak dengar suara saya.

Tiba-tiba, Rizal menjerit kencang sekali. Seperti ketakutan. Beberapa kali, sebelum dia diam tak bersuara sama sekali.

Saya panik! Saya gedor-gedor pintu kamarnya. Tapi dia tetap tidak menyahuti. Saya sampai menangis di luar pintu. Berdo'a sama Allah, supaya pintu kamar Rizal bisa dibuka. Setelah sejam kemudian, tiba-tiba pintu kamar Rizal bisa dibuka. Lalu, saat saya masuk ke dalam ... "

Elena berkerut hebat alisnya. Jantungnya berdebar kencang. Kenapa? Rizal kenapa? tanya Elena dalam benak.

Air mata Nilam menetes saat meneruskan ceritanya. "Saat saya masuk ke dalam kamar, pintu kamar mandi dalam keadaan terbuka. Saya celingukan mengecek ke dalam kamar mandi. Tak ada siapa pun di sana. Saat berbalik mengecek kamar tidur, ... saya terkejut melihat Rizal duduk di lantai, meringkuk di sudut ruangan, tanpa busana!"

Elena menutup mulutnya. Kenapa Rizal berperilaku seperti itu?

"Saya tanya baik-baik, 'Zal, kenapa kamu duduk di sini? Kenapa gak pakai baju?' Tapi dia tidak menjawab. Tatapannya kosong. Karena ditanya beberapa kali tetap tak ada jawaban, terpaksa saya pakaikan baju. Lalu, saya suruh salat Isya, tapi dia tidak mau. Sampai saya gelarin sajadah, saya pakaikan sarung dan peci, tapi dia seperti gak ngerti gerakan dan bacaan salat. Ya Allah! Anak saya kenapa??"

Elena merangkul wanita di hadapannya. Ia pun tertular tangis Nilam.

"Tante, saya mau cerita sesuatu. Saya gak tahu cerita ini ada kaitan atau tidak dengan keadaan Rizal sekarang, tapi --," ucap Elena sebelum memulai cerita yang didengarnya dari admin kantor.

Nilam menutup bibir. "S-Saya juga lihat laki-laki berambut panjang itu! Dia berdiri di teras, setelah Rizal memarkir mobil. Saya kira, laki-laki itu teman kantor Rizal!"

Kedua wanita itu nampak sibuk dengan pikiran masing-masing.

"O-Oh! Maaf. Tante sampai linglung. Nak Elena mau minum apa?" tanya Nilam, baru tersadar kalau sedari tadi, tamunya belum disuguhi apa pun.

"Itu gak penting, Tante. Tante gak usah repot-repot sediain saya minum segala. Maaf, apa saya boleh lihat keadaan Rizal? Dia ada di kamarnya?"

"Iya. Dia ada di kamarnya," jawab Nilam sambil mengusap sisa air matanya.

Nilam mengantar Elena ke depan pintu kamar Rizal. Pintu kamar dibuka. Hening sekali, tapi hening yang ganjil.

Nilam melangkah masuk kamar lebih dulu. Ia memberi isyarat agar Elena mengikutinya.

Sementara Elena nampak bingung. Pintu kamar mandi tertutup, tak ada suara air dari dalam sana. Tak ada siapa pun di atas kasur. Rizal di mana?

"Itu dia," kata Nilam sambil menutup bibirnya dan menangis lagi.

Di pojok ruangan dekat lemari, Rizal meringkuk sambil menutupi tubuhnya dengan selimut tebal.

"D-Dia kenapa, Tante? Kedinginan?" bisik Elena pada Nilam.

"Bukan. Dia seperti ... tidak suka kalau kena cahaya. Lebih suka sembunyi seperti itu. Dia juga marah kalau saya menyalakan lampu," jawab Nilam mengusap air mata.

"S-Saya boleh mendekati dia?" tanya Elena ragu.

"Boleh. Tapi ... hati-hati."

Jawaban itu membuat Elena jadi takut. Tapi ia ingin mencoba bicara pada Rizal.

Perlahan kaki Elena menghampiri Rizal. Selimut menutupi mata Rizal juga, jadi Elena terpaksa harus lebih mendekat jika ingin melakukan kontak mata dengan Rizal.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now