1. Wanita Gila

81 2 0
                                    

Berkecamuk, mungkin itu kata yang tepat untuk menjelaskan kondisi terkini dari sosok seorang wanita tua. Ia terus membanting apapun yang ada di hadapannya, pecah remuk bak dirinya yang sudah hancur sejak belia. Tak ada yang tahu betapa sakit luka batin yang selama ini dipendamnya, trauma, depresi.

Dunia juga tak mau tahu, dunia ini cuma mau tahu ia seorang wanita gila, gila yang berkepanjangan. Dunia cuma tahu dia wanita lemah dan tak jelas. Dunia cuma tahu dia tak berguna dan hanya barang rongsokan di rumah kontrakan tiga petak. Dunia tak pernah memberi apapun selain hinaan, dunia tak memberi apapun namun berharap apapun.

Ke sana-ke mari mencari pembelaan, mencari bantuan. Berharap hamparan sajadah dapat menbantu namun dapat dihamparkan saja tidak. Berharap sujud mampu memecahkan segalanya, namun dirasa bingung ke mana lagi harus bersujud. Sebab hidup hanya penderitaan semata.

"Aduhhh, Ibu! Berisik, bisa ngak sih sehari aja gak ribut!" Celoteh wanita dengan baju seksi dan rok mini, make up tebal, rambut terurai berwarna kekuningan.

Wanita paruh baya itu membanting apapun yang dilihatnya, melempar, mencabik-cabik sprai. "Aaaaaa bajingan, brengsek, kurang ajar, binatang semua laki-laki," semua sumpah serapah disorakkannya. Seolah sedang berdemo dan berorasi ria di hadapan para pejabat pemakan uang rakyat atau para pemimpin nun zholim.

Brak, Brak, trang, trang, dug, BUGHHH! Pecahan piring, bantingan pintu, kursi, meja. Rumah ini sudah tak berbentuk. Rumah kontrakan tiga petak, ini sudah pindah yang ke 23 kali. Mereka selalu kena usir sebab kelakuan wanita gila itu, penyakitnya kambuh berkepanjangan.

Akhirnya mereka berusaha mencari kontrakan tiga petak yang tak bertetangga. Meski sulit ada juga. Mereka akan hidup sedikit jauh dari tetangga, sehingga ocehan para tetangga pemakan bangkai saudaranya nanti di akhirat itu tak memanaskan telinga anak-anak wanita gila itu lagi. Para tetangga tak tanggung-tanggung melontarkan kalimat hina dan menjijikan sebab mendengar teriakan Si gila itu setiap hari.

"Lama-lama aku bisa gila juga tinggal sama Ibu." Wanita itu segera mengambil ponsel di dalam tasnya, dan menelepon seseorang. Orang itu tak mengangkatnya namun ia terus menghubunginya berkali-kali. Wajahnya nampak memerah kesal.

"Hallo!" Ucap orang dari balik telepon itu.

"Akhirnya kau nyaut juga."

"Aaaaa bajingan, brengsek, kurang ajar, binatang!!" suara itu samar-samar terdengar oleh wanita di dalam telepon itu.

"Ibu kambuh lagi?" tanya wanita dalam telepon itu dengan suara datar.

"Hmmm."

"Kasih obat, Dek. Obatnya di laci, jangan lupa airnya anget, terus abis itu suapin Ibu makan." Wanita dalam telepon itu memberi tahukan apa saja yang harus dilakukan oleh adiknya, suaranya terdengar biasa saja namun telaten menyebutkan apa yang harus dilakukan, seolah sudah terbiasa akan hal tersebut.

"Gak bisa, aku udah telat buat berangkat kerja, jadi Uni saja."

"Tempat kerja Uni jauh. Ibu bisa kenapa-kenapa kalau kau tinggalin."

"Alah, udah biasa kayak gitu, nanti juga capek sendiri. Udah ah aku mau berangkat." wanita itu menutup sambungan teleponnya. Ia bercermin lalu merapihkan sedikit rambutnya dan membuka pintu, melangkah keluar dari rumah kontrakan tiga petak dengan wanita gila di dalamnya.

***

Wanita itu berlari menerobos masuk ke dalam rumah kontrakan tiga petak. Suara keran air menyala, tumpahan air ke mana-mana, meja dan kursi yang berhamburan, pecahan gelas dan piring. Di antara keributan itu semua, ia mencari sosok wanita gila, ternyata wanita tua itu berada di kamar mandi tengah menjedot-jedotkan kepalanya ke pintu kamar mandi.

Dongeng Ibu Kala SenjaWhere stories live. Discover now