"Web-nya gimana?" Sachi bertanya setelah merasakan keheningan panjang di antara mereka sejak satu jam yang lalu. Dia memutar kursi, mendapati Rama terlelap di depan layar laptopnya.
Perempuan itu bangun dari tempatnya duduk, kemudian beranjak sambil membawa jaket Rama—menyelimuti tubuh lelaki itu sambil mengintip beberapa aplikasi yang dibuka bersamaan di laptop serta tiga layar monitor.
Udah selesai belum, sih, Sachi penasaran. Dia melirik jam dinding yang menempel di atas big screen. Sudah larut, hampir jam sebelas malam.
Sachi berlari menuju lobi, mendapati Pak Sopyan sedang berbenah. Memasukan barang bawaannya yang berupa buku dengan kertasnya yang sudah menguning, kabel charger, serta dompet ke dalam ransel coklatnya.
Sachi merasa tidak enak hati. Seharusnya pria paruh baya itu pulang tepat jam delapan. Karena ia dan Rama masih melanjutkan pekerjaan, Pak Sopyan sampai harus menunggu sampai selarut ini.
"Eh, Mbak Sachi?" Pak Sopyan melempar senyum semringah menyaksikan perempuan bertubuh tinggi semampai itu mendekat. "Sudah selesai kerjaannya?"
"Belum, Pak," jawaban Sachi membuat Pak Sopyan memudar.
"Kira-kira selesai jam berapa ya, Mbak?" tanya Pak Sopyan ragu. "Saya harus bikin kejutan ulang tahun ketujuh belas anak sulung saya. Kayanya kalau pulang sekarang masih sempat bantu-bantu buat persiapan surprise "
Sachi mengangguk. Ia mengerti dengan keresahan yang Pak Sopyan rasakan. "Bapak pulang sekarang aja, Pak. Kerjaan saya sama Rama masih lumayan banyak."
"Terima kasih ya, Mbak Sachi. Maafin saya gak bisa ikut nungguin," Pak Sopyan kembali tersenyum setelah dipersilahkan pulang. "Sempatkan tidur ya, Mbak. Supaya gak sakit."
Sachi mengangguk, mengantar Pak Sopyan sampai kedepan pintu lift. "Hati-hati, Pak," ucapnya tulus. "Salam sama anak dan istrinya ya, pak."
Dengan langkah gontai, Sachi membawa tubuhnya kembali ke ruangan. Rasa iri dan hampa memenuhi dadanya.
Sachi jadi penasaran, seperti apa rasanya dibuatkan pesta kejutan ulang tahun oleh kedua orangtua? Seperti apa rasanya bisa berkumpul dengan keluarga lengkap? Serta, seperti apa rasanya dijadikan prioritas oleh ayah dan ibu?
Sachi ingin tahu seperti apa rasanya. Tapi dengan siapa? Siapa pula yang akan melakukan hal-hal seperti itu demi dirinya? Tidak ada. Bahkan meski Giovan pernah menjadikan dirinya sebagai nomor satu, rasanya berbeda. Rasanya tidak nyata.
Sachi kembali duduk di kursi kerjanya, kemudian menyandarkan kepalanya di meja sambil melamun. Menatap lurus ruang kosong pada tembok putih di seberangnya.
Sudah sangat lama Sachi merasa kosong. Banyak sekali ruang, namun tidak ada yang mampu masuk dan menetap bahkan memberi warna. Hanya ada dirinya di dalam sana. Dirinya yang berharap bisa merasakan dan mengukir kenangan-kenangan manis dengan seseorang yang bersedia menganggap dirinya begitu berarti.
Sachi terlalu lama sendiri. Tidak ada orang tua, keluarga, juga kerabat yang bersedia menemani. Membimbingnya untuk tumbuh dan beranjak dewasa.
Sachi memaksa dirinya untuk tumbuh menjadi sosok kuat, mandiri, berani walau nyatanya ia sering menangisi keadaan seorang diri. Dia butuh bahu untuk bersandar, tangan yang bersedia memberikan pelukan, telinga yang bersedia mendengar, serta hati yang bersedia diajak berbagi susah dan senang. Tapi, sekali lagi hatinya bertanya, memangnya ada yang bersedia, terlebih jika sosok itu tahu latar belakang keluarga Sachi yang berantakan?
Jangan ngarep. Emangnya lo pantes buat bahagia, batin Sachi meronta. Ibu dan ayah saja pergi.
Air tangis sudah tidak terbendung lagi. Pipi Sachi basah ketika menutup mata sambil mati-matian menahan isakan. Sachi bergegas-gegas berjongkok, lantas bersembunyi di bawah kerjanya setelah menyadari bahwa di sana ia tidak sendiri. Sachi berharap, Rama terus terlelap dan tidak melihat ia menangis.
Sayangnya, harapan Sachi tinggallah angan. Rama membuka mata tepat ketika mendengar kursi kerja Sachi bergeser keras hingga menabrak meja yang ada di belakang.
Rama menggeliat sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia pikir Sachi telah pergi. Namun, ketika menangkap sosok perempuan yang dicarinya itu tengah bersembunyi di bawah mejanya sambil menangis, Rama khawatir.
Ada desakan kuat dalam diri Rama untuk memeluk dan menghapus air mata Sachi. Tapi, ia sadar. Ia bukanlah siapa-siapa bagi Sachi. Mereka belum sedekat itu untuk melakukan kontak fisik meski sekadar memberi perempuan itu pelukan. Rama tahu boundaries.
Rama tahu diri. Ia menahan diri untuk tidak berlari menghampiri. Maka yang selanjutnya Rama lakukan adalah berpura-pura tidur di atas meja seperti semula—membiarkan Sachi menangis. Rama berharap, apapun yang membuat perempuan itu bersedih hati luruh bersama dengan air mata serta isakan.
Namun, Rama tidak bisa menahan diri untuk tidak mencari tahu cara membuat Sachi kembali merasa lebih baik setelah menangis. Dengan sangat hati-hati Rama menarik ponsel dari kantong ripped jeans hitamnya. Maksud hati ingin mengirim Giovan pesan berisi beberapa pertanyaan. Sayangnya, benda pipih tersebut tergelincir ketika hampir berada dalam genggaman.
Sachi menyeka air tangis yang membasahi wajahnya dengan segera ketika mendengar suara benda terjatuh. Ia bergegas-gegas kembali ke tempat duduk sambil mencari tahu dari mana suara tersebut berasal.
Rama pura-pura menggeliat, berdeham pelan ketika mendapat atensi Sachi. "Hai," ia menyapa dengan suara baritone-nya yang sedikit serak. "Maaf, ketiduran."
Sachi mengangguk, kemudian berujar, "Gak apa-apa," dia memberi jeda dengan helaan napas pendek sebelum melanjutkan, "web sudah aman?"
"Sudah," Rama menyertai jawabannya dengan sebuah senyuman. "Network sudah aman?"
"Sudah. Tinggal diurus anak Tech Support. CCTV kayaknya memang gangguan dari pihak vendor," jelasnya. "Tadi sudah aku infoin di group Team.
"Oke," Rama mengangguk paham. Sejurus kemudian, ia bangun dari tempatnya duduk sambil menyandang ransel juga bomber jacket dalam genggaman. "Ayo, pulang!"
Sachi mengangguk pelan. Jemarinya sibuk membuka aplikasi ojek online. "Duluan," katanya. "Aku pesan ojek online dulu."
"Aku anterin!" Rama sigap menahan jemari Sachi bergulir lebih jauh pada menu order di layar ponselnya. Suara baritone-nya terdengar tegas, seolah ingin memberi perempuan itu pesan, bahwa pulang bersamanya jauh lebih aman daripada menggunakan ojek online.
Sachi menaikkan pandangan. Sejurus kemudian ia menghela napas panjang, lantas memberi lelaki itu sebuah anggukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TERBIT CETAK] Dering Coding Feeling
RomanceBlurb: "Are you alright?" tanya Rama dengan suara beratnya yang dalam, memecah keheningan panjang di antara mereka. "Kamu enggak seharusnya baik sama aku, Rama," lirih Sachi, suaranya teredam isakan. Kata-kata itu terlontar begitu saja, tanpa bisa d...
Empty
Mulai dari awal
![[TERBIT CETAK] Dering Coding Feeling](https://img.wattpad.com/cover/348848239-64-k351410.jpg)