41 - Kiriman

Mulai dari awal
                                    

Rizal melengos. Heh. Ini mungkin efek melihat-lihat muka Theo di internet. Jadi pikirannya mulai menghalu ke mana-mana.

Mobil Rizal melaju keluar parkiran ke jalan besar. Rizal berpikir bahwa mungkin Ibunya sudah membuatkan makan malam untuknya.

Mungkin chat barusan adalah dari ibunya. Mungkin.

.

.

"Gimana kabar majelis, Zhafran?" tanya Yunan melalui percakapan telepon sambil duduk di kamarnya.

Arisa sedang di kamar mandi. Yunan rutin menelepon Zhafran setidaknya dua hari sekali. Mengecek keadaan di tempat suluk. Dan mungkin alasan lainnya adalah, dia merasa bersalah dengan Zhafran yang tanggung jawabnya jadi lebih berat semenjak ditinggal Yunan ke Jakarta.

"Syeikh gak tanya gimana kabar saya?" balas Zhafran.

"Oh ya. Afwan. Gimana kabarmu, Zhafran?" ralat Yunan.

Zhafran memang antik. Kalau murid lain yang jawab begini, fix dicap murid durhaka. Tapi Zhafran dianggap Yunan pengecualian. Karena sejak awal, Zhafran bukan muridnya. Guru mereka berdua sama, yaitu Syeikh Abdullah.

"Canda, Syeikh. Serius amat," kata Zhafran cengengesan.

Tatapan Yunan berubah datar. Kadang Zhafran suka nyebelin seperti ini. Kadang Yunan bertanya-tanya, Zhafran jadi begini gegara kenal dirinya dan keluarga Danadyaksa, atau sejak di Magelang dulu memang sudah agak sengklek seperti ini?

"Majelis alhamdulillah kajian lancar-lancar saja, Syeikh. Hanya saja ... "

Yunan berkerut alisnya. Dia jadi cemas kalau Zhafran bicara dengan nada seperti ini. "A-Ada apa?" tanya Yunan segera.

"Ba'da Maghrib tadi, ada orang kesurupan," lanjut Zhafran.

"Kesurupan??" seru Yunan syok.

Tepat saat Arisa keluar dari kamar mandi. Istrinya itu mengernyit dahinya. Siapa pula yang kesurupan? Seram amat, batin Arisa.

"Iya, Syeikh. Jadi, laki-laki itu masih muda. Ya umurnya sekitar tiga puluh lah. Dia sampai dibawa empat orang. Mengamuk dan meraung-raung seperti orang gila."

"Ya Allah. Terus?" tanya Yunan lagi.

"Jadi, Syeikh bisa bayangkan. Kejadiannya persis pas azan Maghrib. Laki-laki itu mulai ngamuk begitu mendengar suara azan, katanya. Terpaksa kami ikat dulu dia di dalam gudang. Karena kami belum salat Maghrib. Sepanjang salat, berisik suara di dalam gudang. Semua barang dia tendangi. Padahal kakinya juga diikat."

Yunan menutup mulut. Kejadian horor begitu, malah terjadi di tempat suluk pas Yunan tidak ada. Untung ada Zhafran di sana.

"Begitu selesai salat, sengaja zikir saya percepat. Orang yang kesurupan itu, ditahan empat laki-laki. Dia kuat sekali dan kuku-kukunya mencakar-cakar seperti macan.

Saya tanya baik-baik, siapa jin yang memasuki tubuh laki-laki itu. Tapi ada yang aneh. Suara jinnya berubah-ubah. Kadang suara macan, lalu berubah suara laki-laki yang serak, lalu berganti jadi suara nenek-nenek.

Kalau jin yang biasa, biasanya baru lihat saya, langsung kabur. Yang ini tidak. Berani sekali dia."

"Ya Allah. Terus, kamu apain?" tanya Yunan. Cerita Zhafran membuatnya membayangkan seolah-olah ia ada di sana saat kejadian.

"Ternyata, laki-laki itu kemasukan empat puluh jin!"

Yunan berucap istigfar. Kemasukan satu saja, sudah bisa membuat masalah besar. Yang ini bukan kemasukan satu tapi empat puluh jin! Na'udzubillahi min dzalik.

"Saya mencurigai sesuatu. Saya tanya-tanya keluarga laki-laki itu, tapi tidak ada yang mau cerita. Pas saya dibukakan pengelihatan, ternyata laki-laki itu bersekutu dengan dukun!"

Istigfar kembali terlontar dari bibir Yunan. "Sebentar. Dia bersekutu dengan dukun, lalu -- kok dia bisa -- ??" tanya Yunan heran.

"Jadi, dia tadinya mau kirim santet ke seseorang yang dia benci. Saking bencinya, dia minta si dukun untuk kirim empat puluh jin sekaligus ke tubuh orang yang dia benci. Entah dia berniat mau bikin orang itu gila atau mati. Ternyata, orang yang mau dia santet itu, bukan orang sembarangan. Dia punya 'perlindungan', entah amalan atau dia punya tali yang kuat dengan orang sholeh, atau dia punya khoddam yang kuat. Wallahu a'lam. Yang jelas, jin kirimannya mental dan berbalik ke pengirimnya."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," gumam Yunan sambil menggeleng-gelengkan kepala. "J-Jangan bilang kalau -- apa orang itu jama'ah majelis kita?" tanya Yunan segera.

"Bukan, Syeikh. Dia tidak pernah hadir majelis, katanya."

Yunan menghela napas lega. Sungguh musibah besar kalau jama'ah pengajiannya ada yang berperilaku keji semacam itu. Sudah bolak-balik diberikan siraman rohani, dido'akan yang baik-baik, dibimbing supaya mendekat pada Allah dan Rasul-Nya, kalau masih main santet juga, sungguh TER LA LU!!

"Terus, gimana caranya mengeluarkan jin sebanyak itu?" tanya Yunan. Dia sungguh-sungguh bertanya. Pengalamannya sangat minim dengan hal-hal semacam ini sebenarnya. Jin-jin itu memang sering berusaha mengganggunya, mengganggu dakwahnya, tapi Yunan belum pernah meruqyah siapa pun. Waktu kejadian Raesha dulu, dia tidak membacakan satu ayat ruqyah pun. Iblis itu keluar dari tubuh Raesha, setelah Yunan menyentuhkan pangkal leher Raesha dengan ujung siwak. Kejadian itu tentu tak bisa dikategorikan ruqyah. Berbeda dengan Zhafran yang memang suka dimintai tolong warga jika ada yang mengalami gangguan jin dan semacamnya.

"Seperti ruqyah yang biasa, Syeikh. Hanya saja saya harus mengeluarkan satu jin muslim terlebih dahulu."

Yunan melotot. "Hah? Bagaimana bisa ada jin muslim di antara jin-jin jahat itu?"

"Iya. Jin muslim itu minta tolong dikeluarkan. Dia tersesat dan ditarik dukun itu. Jadi saya keluarkan dulu dia, lalu ... "

.

.

"Assalamu'alaikum, Bu," sapa Rizal setelah dibukakan pintu oleh ibunya.

"Wa'alaikum salam!" sahut seorang wanita berusia enam puluhan yang sebagian rambutnya mulai memutih.

Rizal mencium punggung tangan ibunya.

"Kok malem banget pulangnya? Lembur?" tanya wanita berambut dicepol itu, dengan senyum hangat.

"Iya, Bu. Ibu tadi kirim chat ke aku, ya?"

"Enggak, kok."

"Ooh," sahut Rizal. Orang lain berarti. Mungkin kliennya, atau staf kantor, batin Rizal. Kalau baru tiba di rumah seperti ini, dia masih malas cek isi ponsel. Nanti saja setelah makan malam, mandi dan leyeh-leyeh, pikirnya.

"Zal, kamu pulang bareng teman kantor? Temanmu gak diajak masuk?"

Pupil mata Rizal mengecil saat mendengar pertanyaan ibunya. Rizal spontan menoleh ke belakang dan melihat ibunya menunjuk ke arah luar jendela.

Ibunya terkejut melihat Rizal berlari dan mengecek ke luar jendela. Celingukan menyapu pandangan ke halaman depan dan teras garasi.

"Aku pulang sendiri, Bu," kata Rizal.

Ibunya ikut mengecek ke luar jendela. Tak ada siapa pun di sana.

"Kok? Tadi kayaknya Ibu lihat ada laki-laki berambut panjang."

Rizal menelan ludah. Ah. Tidak mungkin, batinnya. Seumur hidup, dia tidak pernah mengalami hal-hal mistis semacam itu. Dia termasuk orang yang tidak sensitif terhadap hal gaib, dan malas bersinggungan dengan hal-hal itu.

"Ibu salah lihat, kali. Jangan-jangan plus matanya Ibu nambah," canda Rizal berusaha tertawa agar rileks.

"Iya kali, ya," kata ibunya Rizal ragu.

"Aku lapar, Bu. Ibu masak apa malam ini?" Rizal berusaha mengalihkan perhatian ibunya, sekaligus perhatiannya juga.

Tidak. Tidak ada yang mengikutiku pulang ke rumah. Tidak ada.

.

.

***



ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang