Bab 37

886 153 69
                                    


Jiwa Erlangga Bab 37

Iba merasuki sanubari. Isakan menyayat yang memenuhi indra dengar membuat dada Erlangga ikut nyeri. Tak diberi hak diakui dan diketahui mengganjar Jiwani sebagai anak hasil perselingkuhan seorang Manaf Baihaqi. Sosok tak bersalah yang menjadi korban tanpa tepi. Tak bisa menawar apalagi mengingkari.

Tanpa perlu bertanya, Erlangga tahu betul penyebab Jiwani menangis seperti bocah yang kehilangan orang tuanya di keramaian. Sikap Dzakiya yang terkesan sengaja memamerkan kasih sayang Manaf di depan Jiwani sudah pasti itulah penyebabnya. Menorehkan bias terluka teramat dalam di manik coklat terang si gadis yang masih tergugu digulung nelangsa. 

Ingin memeluk lagi Jiwani yang tengah merapuh hanya bisa Erlangga lakukan dalam angan, sadar tetap ada batas yang tak boleh diterabas walaupun pernah sempat menabrak pilar aturan itu lantaran terbawa perasaan.

Melepas dasi yang melingkari kerah kemeja, Erlangga memintal bagian ujung yang lebih kecil dan membiarkan sisanya menjuntai. Disentuhkannya bagian menjuntai ke tangan Jiwani yang langsung digenggam erat oleh gadis itu. Cara lain menguatkan tanpa harus bersentuhan secara langsung.

Menit demi menit berlalu mengiringi Jiwani memuaskan tangis perihnya hingga sapu tangan yang diberikan Erlangga basah sempurna. Gadis pemilik tahi lalat manis di ujung mata itu larut dalam sedu sedan, tak peduli meski di depannya ada Erlangga yang lagi-lagi menyaksikan sisi terlemahnya. Sisi yang selalu Jiwani tutupi bahkan dari ibunya.

“Masih ingin memerah air mata? Kalau iya, ayo kabur dari sini dan lanjutkan di tempat lain.” Erlangga buka suara saat dirasa Jiwani sudah bisa diajak bicara.

Erlangga sengaja tidak mengulik penyebab Jiwani tampak mengenaskan. Membahas topik itu sama saja dengan menambah lebar sayatan di hati Jiwani yang pasti tengah berdarah-darah. Kecuali Jiwani sendiri yang mengangkat hal tersebut ke permukaan.

Bangkit dari posisi berjongkoknya, Erlangga menepuk-nepuk betisnya yang kesemutan akibat terlalu lama menekuk lutut.

“Akh, gara-gara nungguin gadis nangis, kakiku jadi kesemutan!” gerutu Erlangga yang memang sengaja memancing Jiwani untuk berkomunikasi.

Cerocosan bawel Erlangga belum berhasil memecah kebungkaman Jiwani yang masih mengunci lisan. Bibir Jiwani yang bergetar hanya meloloskan isakan-isakan kecil meningkahi saluran napas yang kembang kempis.

Menghela napas panjang, Erlangga mengamati Jiwani yang tampak kacau. Mata sembab, pipi basah dan hidungnya pun memerah. Kontras terlihat di kulit putih Jiwani. Andai halal berada dalam genggaman, Erlangga sangat ingin menyeka bulir bening yang berjatuhan di pipi si gadis yang hingga detik ini selalu menjadi ratu di hatinya.

“Serius mau lanjut nangis di sini? Coba lihat sekeliling, ini area taman bermain anak-anak. Kamu jadi kayak anak hilang.” Erlangga tak menyerah. Bertingkah menjengkelkan adalah jalan ninjanya untuk membuat Jiwani tidak terus berkubang dalam tangisnya.

“Apartemenku lebih nyaman untuk dipakai menangis. Di sana kamu bebas menangis berguling-guling sambil meraung-raung sepuasnya. Atau mau sambil lempar-lempar wajan juga nggak masalah karena unitku kedap suara. Daripada terus-terusan nangis di sini, nanti orang-orang mikirnya kamu abis diapa-apain sama aku.” Kalimat Erlangga kali ini sukses memancing Jiwani menimpali.

“Siapa suruh nguntitin aku? Balik lagi ke dalam sana!” usir Jiwani kesal dengan suara sengau khas orang yang masih menyisakan tangis. Mengempaskan genggaman dari dasi yang sejak tadi dicekalnya.

Diusir demikian, senyum lebar Erlangga terbit. Respons marah Jiwani sedikit mengurangi kekhawatiran yang mencekiknya. Erlangga lebih suka melihat Jiwani yang galak ketimbang Jiwani yang terpuruk.

Jiwa Erlangga Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum