“Asa mau halimau, Paman. Kelinci no-no!” tolaknya saat tangan kekar Aldino hampir meraih permen kapas bentuk kelinci di sana.

Pria dengan rambut berwarnanya itu menoleh, menaikkan satu alisnya tanda tak setuju. “Hei, harimau tidak lucu. Kelinci saja, lihat—— menunjukkan permen kapas bentuk kelinci yang terpajang ——lebih bagus, kan?”

Namun sayang sekali, Angkasa menggeleng tak setuju. “No no no, halimau lebih kelen, Asa tidak mau kelinci!” ujarnya sembari menggerakkan telunjuk kecilnya tanda menolak.

Asik berdebat, mereka tak menyadari Angger sudah mengambil satu permen kapas dan membayarnya. Sedetik kemudian menyeret Aldino bersama bocah kecil itu untuk diajak duduk di tempat semula.

“Ini, makan dan habiskan!” ujarnya seraya menyodorkan permen kapas di tangannya.

Ntah apa yang salah dari bocah itu, ia menggeleng sembari bersedikap dada. “Tidak mau!” katanya dengan pipi membulat.

Angger sempat memejamkan matanya sambil menarik napas agar tak tersulut emosi. “Ini kan yang kau inginkan? Ini permen kapas.”

Lagi-lagi anak itu menggeleng, membuat darah Angger terasa mendidih kemudian memberikan permen kapas itu pada Aldino.

“Kau harus sabar, Angger.” Aldino sempat mengusap bahu lebar milik adiknya sebelum ia beralih pada makhluk kecil di pangkuannya.

Kembali disodorkan permen kapas itu. Namun, Angkasa tak ingin menatapnya.

“Kenapa tidak diambil? Asa mau ini kan tadi?” halus, lembut serta sabar Aldino bertanya. Perbedaan yang begitu kontras dengan sang adik.

Angkasa sempat mengangguk, namun menggeleng kemudian. “Mau, tapi tidak mau.”

“Maks——”

“Tinggal makan saja susah.” itu Angger yang menyela lantaran semakin kesal dengan anak yang menurutnya telah merebut miliknya——Abangnya——

Aldino sejenak menghela napas, Angger dalam mode cemburu kenapa malah semakin menjengkelkan?!

Ia membalikkan Angkasa agar menghadapnya, “Kenapa Asa tidak mau?”

“Itu babi, halam!” pekiknya tak tertahan.

Oh ayolah, Angger hanya asal ambil dan bertepatan dengan bentuk babi. Lagi pula—— ah sudah lah.

*****

“Besok akan aku antar ke polisi, biar mereka yang mencari keluarganya.”

Dua lelaki berbeda usia itu asik menatap gelapnya malam. Melihat kerlipan bintang dengan bulan sebagai aksen utama.

“Abang rasa itu terlalu cepat. Biar Angkasa berada di sini untuk beberapa hari. Lagi pula, aku senang melihatnya,” balas Aldino kemudian menyesap kopinya.

Balkon malam ini terasa berbeda, ntah suasana malam yang dingin atau berada pada situasi yang tak diingin.

“Kau suka, dan aku tidak!”

Why?”

Angger hanya diam mendapat pertanyaan demikian. Padahal, itu pertanyaan simple yang bisa ia jawab dengan begitu mudah.

Aldino tersenyum jahil sambil menarik hidung bangir milik Angger. “Kau cemburu, ya?”

“Tidak, sama sekali tidak!” balasnya tegas.

Yang lebih tua hanya mengangguk saja, kembali menikmati angin yang berhembus malam ini. Memejamkan mata untuk sekedar melepas penat.

“Angkasa anak yang baik, juga lucu. Kau lihat pelan-pelan anak itu, bukan kah dia butuh kasih sayang?”

Angger tak menyahut, terlalu malas membahas persoalan yang menurutnya tidak penting.

Mendengar tak ada jawaban, Aldino kembali bersuara. “Angger pernah merasakan kehilangan rasa bahagia kan? Apa Angger tega jika anak sekecil itu akan kehilangan kebahagiaannya?”

“Sejujurnya, itu bukan urusanku,” jawaban acuh.

Sontak membuat Aldino membuka matanya, menatap Angger yang berada di sebelahnya dengan lamat.

Ia tersenyum tipis, “Abang yakin, Angkasa disisihkan dan kebetulan bertemu dengan Angger. Mengaku bahwa Angger adalah ayahnya.”

“Bukan kah anak adalah anugrah, Angger?”

Angger mengangguk tak yakin, merespon sedikit dari banyaknya perkataan yang Aldino katakan.

“Jadi, bisa saja Angkasa adalah anugrah untuk Angger, benarkan?”

Angger tak lagi menjawab, kepalanya hanya berputar mengenai bagaimana dulu ia hidup. Semua bermula saat ayah dan ibunya bertengkar, ia menjadi gelandangan di jalan, menjadi seseorang yang amat membutuhkan kasih sayang, hingga bertemu dengan Ayah Harsa beserta keluarganya yang begitu hangat.

Hampir ia meneteskan air matanya jika saja tak ingat kalau masih ada Aldino di sana.

“Abang hanya tidak mau melihat anak kecil seperti Angkasa menderita begitu banyak.”

“Tapi dia bisa berada di panti, bang. Banyak teman dan juga ada yang mengurusnya.”

“Kau tega?”

Seketika Angger menunduk dan menggeleng.“ Tidak. Itu menyakitkan.”

“Katakan pada Abang kalau Angger kesulitan mengurusnya, Abang selalu ada.” Kata terakhir yang Aldino ucap menjadi akhir pertemuan mereka malam ini.

Ia pamit begitu saja, lantaran teringat besok ada penerbangan pagi. Perjalanan bisnis yang melelahkan.

*****

Angger menatap lamat anak lelaki yang tertidur pulas di kasurnya. Wajah kecil dengan pipi bulat kemerahan juga bibir mungil yang kontras dengan hidungnya.

Ia tersenyum tipis, “Kau anak siapa sih?” tanya pemuda itu.

Angger tau, tak akan ada jawaban dari bibir mungil itu, terlebih sepertinya anak itu teramat lelap. Menit berikutnya Angger ikut merebahkan diri, menerawang jauh ke dalam isi kepalanya.

“Apa aku harus?”

*****
Tbc

Lanjut ga sih? Belakangan agak sepi, mungkin karena udah lama ga update ya? Ehehe

Lop u, purple u

Angger; EverlastWhere stories live. Discover now