Sayur

294 57 6
                                    

Hallozzz, Teje kembali ...

Happy reading honey

Makasih banyak untuk supportnya, muah ...

Sayang kalianಥ⁠‿⁠ಥ

So, enjoy ...

Typo harmak:)

*****

Hancur, kondisi keluarga lelaki itu saat ini. Ia paham betul, bagaimana awal mula kehancuran itu terjadi akibat genggaman tangannya sendiri. Andai saja ... dulu ia berpikir lebih jauh dan lebih matang lagi, mungkin semua ini tak akan terjadi. Anaknya tak akan pernah merasakan kehilangan orang tua dalam rumahnya sendiri.

Ia, Asa Margaja. Tiga tahun sudah berlalu, dalam kurun waktu itu pula ia terus merasa bersalah. Meskipun, sang anak selalu memaafkannya dan berkata, “Papa itu udah kasih pelajaran hidup terbaik buat Angger. Apapun itu di masa lalu, di masa depan Angger akan selalu sayang Papa.”

Air mata itu menitik, hanya mengingatkan penggalan kata itu saja matanya memanas. Tak dapat digambarkan seberapa besar rasa bersalahnya pada si putra semata wayang. Rasanya, ia ingin memutar waktu dan menutup lubang di masa lalu.

Ia tersenyum miris, mengusap air mata yang mulai turun ke pipi. “Si brengsek yang masih diberi hidup ... itu aku.” Itulah kata yang rutin ia ucap saat ia termenung seperti saat ini.

Duduk tenang di bawah pohon rindang di taman belakang rumah, menikmati hembusan angin siang hari. Tepat hari ini, senin yang cerah ia menunda semua pekerjaannya agar bisa beradu kasih sayang bersama anaknya sepulang sekolah nanti.

Ia mengulur tangan, melihat jam yang melingkar apik di lengannya. Tersenyum saat merasakan sebuah tangan melingkar erat di perputaran lehernya.

“Angger pulang ... selamat siang Papaku yang paling ganteng,” katanya seraya mengecup pipi kiri sang ayah.

Asa menoleh, balik mengecup pipi semi bulat yang masih bertengger di bahunya. “Sudah pulang?”

Demi apapun pertanyaan itu membuat Angger berdecih sebal, membuang pandangannya ke depan. “Terlalu berbasa-basi, Tuan Asa.”

Sontak, lelaki itu terkekeh, mengusak rambut sedikit coklat milik putranya. “Aku hanya bertanya, apa salahnya?”

“Salahnya Papa nanya hal yang tidak perlu dijawab,” ia berdecak semakin sebal, “Dasar orang tua!”

“Dasar anak muda!”

“Kenapa? Iri, ya, karena Angger masih muda?” tanya anak itu dengan tampang menyebalkannya.

Asa memutar bola matanya, sifat narsis sang anak semakin bertambah seiring dengan usianya. Ia tak habis pikir, kenapa putranya begitu percaya diri. Dapat dari mana ia?

“Terlalu pede itu tidak baik, sejujurnya kau sudah tua jika dibandingkan dengan anak usia lima tahun.”

“Beda cerita, dong!”

“Sama saja.”

“Beda, Papa ... Angger kan remaja, mereka masih balita, pokoknya Angger masih muda!”

“Tua!”

“Muda ....”

Lelaki itu suka suasana ini, suasana yang membawa hatinya merasakan kehangatan. Suasana yang membuat senyumnya terukir manis, suasana yang selalu memenuhi telinganya dengan gerutuan si putra pertama.

Angger; EverlastWhere stories live. Discover now