Mother's Day For My Dad

211 38 8
                                    

Happy reading guys

Enjoy yaa.

Jangan lupa vote dan komen!

Typo harap maklum:)

*****

Angger menatap lamat-lamat selembaran kertas berwarna bertuliskan acara hari ibu. Ia berdiri apik di depan kamar ayahnya, menghela napas dalam dengan teratur. Jujur saja, ia ragu untuk memberikan selembar kertas tipis itu, apalagi ia masih ingat betul jika ayahnya masih merajuk.

Sekali lagi ia menghela napas, membuka pintu semburat coklat itu dengan perlahan. Dapat ia lihat ayahnya sudah rapi dengan jas juga dasi di lehernya. Ia melempar senyum manis. Namun, Asa hanya menatapnya tanpa minat.

Sungguh! Angger kesal bukan main dengan kelakuan si duda itu, ia menghentakkan kakinya sekali, kemudian melangkah dengan hentakan kaki yang cukup kuat. Menatap Asa dengan lamat tak putus.

Tangannya menggebrak meja rias sang ayah dengan selembar kertas yang ikut tergeletak. “Terserah mau datang atau engga. Kalau masih ngambek, nggak usah datang aja.” Setelahnya, Angger berlalu meninggalkan sang ayah dengan ketertegunannya.

Asa diam, menatap selembar kertas tadi dengan cedihan tipis. “Dasar kekanakan! Angger! Gue nggak mau datang, titik!”

“Terserah lo! Gue nggak peduli!” balas anak itu dengan teriak.

Lelaki dewasa itu mengernyitkan dahinya, ia sedikit tabu dengan bahasa yang digunakan si putra sematawayang. Apakah anaknya ingin menjadi anak gaul? Atau itu adalah pengaruh karena ia sering berkata demikian?

*****

Remaja dengan selempang hitam keemasan di tubuhnya itu duduk dengan gelisah. Menatap panggung pameran berbagai seni yang ditunjukkan beberapa siswa. Ia menunduk, mengamati tulisan pada selempangnya ‘Peserta tarik suara’ kemudian tersenyum tipis.

Ia berharap penuh, jika ayahnya akan datang dan menontonnya saat tampil nanti. Sebelum itu, Angger juga termasuk anak golongan salah satu siswa yang masuk dalam tim band sekolah. Yah ... walaupun terkadang, ia sangat malas untuk mengeluarkan suara emasnya dan lebih memilih bermain alat musik lainnya.

Angger menghembuskan napas pasrah, sejak setengah jam lalu sudah berulang kali ia mengedarkan pandangannya. Kursi di sebelahnya yang telah dikhususkan untuk sang ayah masih kosong dan terasa semakin dingin. Ia menoleh, melihat teman karibnya, Areb, yang sudah duduk manis bersama ayahnya.

Beberapa detik setelah itu, ia beranjak. Namun, tangannya di cekal oleh Areb yang kini mengerutkan keningnya. “Mau ke mana? Abis ini lo tampil.”

Angger mengangguk sekenannya. “Gue tau, kabari aja kalau udah selesai. Gue mau nyari bokap gue.”

Sama seperti Asa, Areb juga sedikit heran dengan gaya bahasa juga aksen serta pemasangan suara Angger yang berbeda. Apa temannya itu mulai dewasa hanya dalam satu malam? Ck! Yang benar saja, tidak dapat dipercaya!

“Oke, ntar gue kabari. Yaudah gih, jemput bokap lo.”

Setelahnya, Angger berlalu dari sana dengan tergesa. Demi apapun, matanya terasa panas juga dadanya yang terasa sesak, amat sulit baginya di dalam sana untuk meluapkan rasa emosinya. Tetes demi tetes air mata mulai jatuh membasahi pipi semi gembil miliknya, terus berlari menuju gerbang utama sekolah. Siapa tau, Asa sudah menunggu di ujung sana. Namun, amat disayangkan, setelah lama matanya mengedar, berlari ke sana-kemari mencari sosok pria tinggi itu, tapi tak juga ia temukan.

Demi apapun, relungnya terasa hancur. Ia menyeka air mata yang terus jatuh lalu berkata, “Duda bangsat! Gue sumpahin lo nggak bakal nikah lagi!” Ujarnya sesenggukan.

Hingga suara getaran ponselnya membuat tangsinya terhenti. Ia merogoh saku celana hitam panjangnya, meraih benda pipih di balik sana.

Sekali lagi ia menyeka air matanya, kemudian menerima sambungan tersebut.

“Hallo, iya, Areb? Ada apa?”

“Bokap lo udah ketemu?”

Angger terdiam, ia terus menatap ke arah gerbang utama sekolah. Sama sekali tak ada tanda-tanda sang ayah akan muncul, bahkan suasananya pun tak terasa.

Ia menarik napas panjang untuk menetralkan isakannya yang akan keluar. “Belum, kenapa?”

10 menit lagi lo tampil, buruan balik.”

Remaja itu hanya berdehem, kemudian memutuskan sambungan.

Lagi-lagi, ia menghela napas berat. Mencari satu aplikasi bawaan untuk mencari kontak sang ayah. Ia hanya tinggal punya satu cara lagi untuk mengetahui di mana ayahnya berada.

Jarinya menggulir, menekan sambungan. Namun, hingga suara dengung itu habis pun sambungan tak diterima oleh yang di sebrang sana. Angger tak cepat putus asa, meski air mata kembali jatuh membersamai tangannya yang terus menghuni duda anak satu itu berulang kali.

Dalam hati, Angger berharap penuh ayahnya akan datang untuk sedekah menyaksikannya sebentar, juga ia berharap jika Asa baik-baik saja di sana; di mana pun ia berada.

Setelah dipikir tak lagi ada harapan, Angger memutuskan untuk beranjak dari gerbang utama menuju aula sekolah; tempat diadakannya acara tersebut. Melangkah dari sana dengan perasaan tak tenang juga tak rela. Harusnya, ia menyeret sang ayah saat di rumah tadi, atau harusnya ia tak berkata jika ia tak peduli saat lelaki itu mengatakan ia tak akan datang, atau bahkan harusnya ia tak membuat ayahnya merajuk, tapi bukankah duda tampan itu sungguh keterlaluan?

“Apa Papa masih marah? Maafin Angger, Pa.”

*****

Angger menatap sepasang sepatu berwarna hitam penuh miliknya. Menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan rasa gugup. Tangannya senantiasa memegang microphone yang sudah berdiri apik.

“Angger, jia you!”

Seruan itu membuat Angger sontak mendongak, mencari asal suara dengan tak sabaran.

“Papa di sini, sayang!”

Demi apapun, senyum Angger tampak begitu lebar melihat sang ayah sudah mengisi kursi kosong yang ia persiapkan. Namun, matanya memicing saat teman karib sang ayah juga berada di sana.

“Papa oke,” gumaman dengan gerak tangan membentuk tanda baik itu pun membuat Angger mengangguk.

Sekali tarik napas ia membuka suara mengawali penampilannya.

“Lagu ini Angger dedikasikan untuk Papa Angger yang sudah duduk manis di sana. Papa terhebat, terbaik dan segalanya untuk Angger. I love you, Pa.”

I love you more.”

Asa tersenyum ditemani dengan suara riuh dukungan. Jujur saja, hatinya merasa tersayat. Bagaimana bisa, anak seusia Angger masih saja bisa membuatnya luluh akan tingkah lucunya. Asa tak habis pikir. Namun, perasaannya kian menghangat, menyaksikan bagaimana putranya yang kini tampak lebih dewasa.

Angger mulai bernyanyi, membawakan lagu berjudul Ayah; lagu milik Seventeen. Ia terus melantunkan lirik dengan lihai sembari menatap manik yang serupa miliknya tanpa lesat sedikitpun. Begitu pula dengan Asa, ia tak berniat untuk memutus pandangannya sedikit pun. Namun, ntah apa yang terjadi, pandangannya buram, kepalanya berputar, kemudian hanya ada hitam kelam tanpa bayangan.

“Papa!” Microphone di tangan remaja itu terjatuh, mengundang dengungan memekakkan telinga.

*****
Tbc

Masih mau lanjut?

I lop u, i purple u muahh

Udah vote dan komen belum? Belum?
Buruan vote dan komen dulu!

Angger; EverlastWhere stories live. Discover now