Empat

139 5 0
                                    

Tak ada untungnya perang terlalu lama. Lana memilih menyudahi perang dingin mereka dengan memutuskan tidak lagi membahas perihal anak. Berusaha memperbaiki hubungannya dengan Bian. Memperlakukan pria itu dengan sebaik-baiknya supaya amarahnya redam.

Beruntungnya Bian bukan tipe pria yang keras. Tak lama kemudian sikapnya pun melunak. Mereka kembali seperti biasanya lagi.

Untuk mengeratkan kembali hubungan mereka. Lana memiliki ide untuk mengajak Bian berbelanja di supermarket. Suaminya juga sedang libur dan tak ada jadwal penerbangan hari ini.

Bian mendorong troli yang telah berisi kebutuhan mereka selama satu bulan ke depan. Kebetulan sekali bahan pokok dan keperluan sebagian besar telah habis. Mau tidak mau, mereka harus pergi untuk berbelanja. Supermarket yang dipilih adalah yang paling dekat dari rumah.

"Kamu mau beli apa lagi, Lan?" Bian dengan sabar menemaninya berbelanja. Mendorong troli dan mengikuti kemanapun istrinya melangkah.

Membaca catatan berisi kebutuhan yang telah Lana catat. Memeriksa kembali apakah semuanya sudah terbeli atau belum.

"Aduh," Bian memekik kecil ketika merasakan tubuhnya ditabrak dari belakang.

Seorang gadis kecil dengan sebungkus jajan di pelukannya menatap Bian dengan mata bulatnya.

Bian tersenyum kecil. Berlutut di hadapan gadis kecil berusia sekitar 5 tahun itu. "Eh, maaf ya, Om nggak kelihatan. Ada yang sakit nggak?" Tanya Bian sembari memeriksa kondisi tubuh anak itu.

Memang gadis kecil itu yang menabraknya. Tapi, Bian juga merasa bisa saja dirinya yang lalai hingga tak melihat keadaan sekitar.

Gadis kecil itu menggeleng. "Maaf," ucapnya lirih.

Bian mengangguk. Mengusap puncak kepala anak itu lembut. "Lain kali hati-hati ya. Lihat-lihat sekitar kalau jalan. Takutnya nanti nabrak lagi. Kalau jatuh 'kan sakit." Senyumnya tersumir tulus.

Lana hanya bisa menjadi penonton. Suaminya enggan memiliki anak. Tapi, sikap pria itu kepada anak kecil begitu hangat. Bian bukan anti anak kecil. Bahkan pria itu sangat dekat dengan para keponakannya. Hal itu juga yang membuat Lana bingung hingga saat ini.

"Orang tua kamu dimana?" Bian bertanya sembari celingukan. Mencari dimana keberadaan orang tua dari gadis kecil yang baru saja menabraknya.

Kepala gadis kecil itu menggeleng. "Nggak tahu." Bibirnya mengerucut.

Lana mengerutkan keningnya. Kedua matanya memindai setiap orang yang melintas. Barang kali salah satu dari orang-orang itu adalah orang tua anak ini. "Adik ini terpisah dari orang tuanya nggak sih, Bi?" Tebak Lana.

Kepala Bian mengangguk. Mendongak menatap istrinya. "Kayaknya sih iya. Gimana ya, Lan? Apa kita bantu cari orang tuanya aja?" Kasihan jika gadis kecil itu ditinggal begitu saja. Bagaimana jika ada orang jahat yang berbuat hal buruk kepada gadis kecil itu.

Lana mengangguk setuju. "Nama kamu siapa?" Turut berlutut di samping suaminya.

"Namaku Abel." Jawab gadis kecil itu sembari mengeratkan pelukannya pada sebungkus makanan ringan. "Aku nggak tahu mamaku dimana. Tadi, aku lagi ambil jajan. Terus tiba-tiba mamaku udah nggak ada." Kedua mata gadis kecil itu berkaca-kaca.

Bian dengan sigap menenangkan gadis kecil itu. "Eh, jangan nangis. Om Bian sama tante Lana bantuin cari mama kamu ya?" Pria itu bangkit. Menggandeng tangan mungil Abel.

Gadis kecil itu mengangguk. Tangan kanannya menggenggam tangan Bian. Sedang tangan kirinya masih memeluk sebungkus makanan ringan.

"Lan, kamu yang bawa trolinya ya?" Bian meminta Lana supaya mendorong troli belanjaan mereka. Sedang dirinya yang akan menuntun Abel mencari ibunya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 04 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AdaptasiWhere stories live. Discover now