KALAP

56 6 0
                                    

Malam ini, 31 Desember. Hari terakhir tahun ini. Ia harus bertugas lagi.

Satu kali setahun, di akhir tahun. Tugas muliaku menanti. Ia menganggukkan kepala berkali-kali, dan dengan setiap anggukan, airmatanya deras mengalir. Tangannya gemetar mengusap hidungnya yang penuh ingus. Berkali-kali. Tapi airmatanya begitu bandel dan terus mengalir.

Apakah ia setan? Apakah ia bukan manusia lagi dengan perbuatan ini?

Ia termangu-mangu dalam usahanya mencari jawaban sebelum akhirnya ia menemukan jawabannya: Bukan, ia bukan setan. Sama sekali bukan.

Ia hanya manusia biasa yang bisa marah, luar biasa marah, kemarahan yang berhasil menggetarkan gerbang neraka dan neraka mengirimkan seseorang untuknya.

Dia yang telah membantu semua perbuatannya ini. Pembalasan dendamnya.

Apakah ia kalap, membabibuta dalam membalaskan dendamnya? Mungkin saja.

Tapi apakah ia peduli? Dulu, iya. Sekarang, tidak. Mungkin hatinya sudah semakin membeku.

Lima tahun, tidakkah itu sudah cukup? Belum.

Airmatanya berhenti mengalir ketika matanya menangkap foto ukuran 4R di dalam bingkai keemasan di atas meja kamar kosnya. Foto hitam putih seorang wanita tersenyum lebar menghadap kamera. Senyum khas yang ia rindukan tapi tidak akan pernah ia lihat lagi. Selama-lamanya senyum itu hanya akan hidup dalam belas kasihan struktur memori di otaknya.

"Mama ..." ia berbisik sambil jari-jemarinya gemetar mengelus permukaan bingkai foto itu dengan sangat hati-hati. "Aku sayang Mama, ini semua demi Mama," ia masih berbisik parau. Ia menghela napas lagi, dan tangisnya mendesak-desak keluar lagi. "Aku sudah jadi dokter, Mama. Aku menolong orang setiap hari, menyelamatkan nyawa mereka. Kecuali hari ini, di hari terakhir tahun ini. Aku harap Mama mau mengerti dan mengampuniku."

Ia menghela napas, menghapus airmatanya sekali lagi, dan dengan jari-jemari yang masih gemetar meraih sebuah peta dari laci mejanya.

Peta itu lusuh karena sudah ia buka tutup berkali-kali. Dengan satu hentakan tangan, ia membuka peta itu di atas meja tulisnya dan matanya mulai mengawasi isinya. Peta itu adalah peta kotanya yang sudah penuh dengan berbagai coretan tangannya: tanggal, angka-angka, dan di antara sekian banyak angka-angka itu, ada beberapa yang ia beri silang merah dan catatan kecil di samping silang itu: Selesai.

Hujan di luar turun dengan deras menghantam atap seng kamar kosnya, bising tapi ia tidak terganggu sama sekali. Ia duduk tegak, konsentrasinya ia fokuskan penuh ke peta lusuh di atas meja. Sesekali ia menelengkan kepala ketika ia mengamati angka-angka yang ada, matanya tak berkedip menatap semua angka itu, seakan sebuah keputusan besar tengah bergantung pada ketelitiannya menganalisa angka-angka itu.

Jari telunjuk kanannya bergerak pelan menyusuri nama beberapa kelurahan, bergerak ke sana kemari sebelum akhirnya jari itu berhenti di satu nama. "Giliranmu," ia berbisik sambil mengambil spidol merah dan melingkari satu nama kelurahan dengan angka tertinggi. "Tahun lalu kamu nomor dua ... sekarang lihatlah, paling tinggi!" ia tersenyum sambil mengetuk-ngetuk nama kelurahan yang baru ia lingkari.

Ia tercenung selama beberapa menit, kedua telapak tangannya ia letakkan di tempurung lututnya. Ia hanya duduk tegap kaku dalam keheningan. Mengatur napas. Menghapus airmata. Menatap foto Mama. Mengais memori. Mencari tanda pengampunan.

Lalu ia berdiri, menuju lemari pakaiannya, dan membuka lemari tua itu. Bau lumut dan debu menyeruak menyerbu indera penciuman. Tangannya meraih satu set pakaian yang ia letakkan di tumpukan paling bawah.

Pakaian yang berupa satu set kebaya encim berbordir tempel merah marun keemasan. Warisan Mama untuknya. Kebaya encim yang sudah menjadi milik Mama sejak masa gadisnya, dan setelah Mama pergi selama-lamanya, kebaya itu menjadi harta paling berharganya.

KALAPWhere stories live. Discover now