[ 3. Reuni yang Mengharukan ]

Comincia dall'inizio
                                    

Satu kata, mimpi buruk.

"Oke, tenang, Ice. Kalau ajal lo bukan di sini, lo gak akan mati."

Dengan sangat amat perlahan, Ice menyeret diri ke samping, menuju tembok penyangga gedung. Nafas tertahan. Seolah jika ia tidak melakukan itu, kesialan akan menghampiri dirinya.

Gerakannya terhenti. Jantung terasa berhenti berdetak tatkala merasakan retakan pada kaca, tempat punggung Ice menempel. Tak butuh waktu lama untuk mendengar suara retakan yang lebih kencang.

Firasatnya buruk. Tak peduli akan hidup dan mati, Ice bergerak cepat, lalu segera melompat memeluk tiang tebal itu, bertepatan dengan nyaringnya suara pecahan kaca.

Kristal tajam bertebangan. Disusul satu-persatu zombie jatuh akibat kerakusannya, ingin berusaha menggapai Ice. Hingga zombie tak lagi jatuh, hanya tangan dan kepala yang muncul, memenuhi lubang pecahan kaca, masih ingin menggapai kaki Ice yang hanya berjarak seperempat meter.

Ice merinding setengah mati. Sekuat tenaga, kaki kanan dan kirinya berada disetiap sisi tiang, menahan bobot tubuh. Pelukan pada tiang dipererat. Begitu ia sudah memantapkan diri, Ice dengan cepat memutar tubuh ke sisi kiri. Punggungnya kembali menempel pada jendela.

Niat hati ingin masuk ke dalam, berharap jika ada beberapa murid yang berlindung di sana. Namun, niatnya diurungkan tatkala melihat kondisinya, membuat Ice menghela nafas kasar. Ternyata sama seperti kelasnya.

"Duh, adek-adek gue apa kabar, ya?"

Tiba-tiba terpikirkan dalam benak Ice. Padahal, nyawanya disini sedang sangat terancam. Tapi, kan, gawat, jika kedua adiknya sudah menjadi mayat hidup.

Kata Ice, itu adalah kematian yang sangat tidak elit.

Semakin panik pula ketika mengingat bahwa Thorn dan Solar tidak bisa beladiri. Dua anak bungsu. Penakut. Manja. Cengeng.

Tunggu, bagaimana dengan kakak-kakaknya?

"Kan, mereka jago beladiri. Kuat. Gagah. Berani. Zombie segini, mah, kecil." Ice kembali menghibur diri. Padahal, mereka memang kuat, kok.

Sudah memutuskan apa yang harus ia lakukan, dengan ekor mata, Ice melirik lantai dua.

Kembali menahan nafas, Ice berjalan menyamping ke sisi kiri. Ia usahakan untuk tetap serekat mungkin pada kaca. Begitu sampai, Ice langsung memeluk tiang tebal itu dan berpindah ke sisi yang lain. Saat mengintip ke dalam, kondisinya masih tetap sama.

Jika semua kelas begitu, apakah toilet yang jarang dikunjungi dan selalu tertutup akan seperti itu pula?

Dinding dengan satu kaca terlihat dari balik tiang penyangga. Itu toilet. Ice berpindah tempat dengan melakukan hal yang sama dan mengintip ke dalam.

Kosong. Darahpun tak ada.

Ice mendesah lega. Tapi, tujuannya bukan toilet lantai tiga. Melainkan, toilet yang berada tepat di bawahnya. Toilet kelas dua.

Ice terdiam sejenak. Berpikir keras bagaimana ia bisa turun ke lantai dua. Lantas, Ice berbalik, wajahnya menghadap dinding, menjaga keseimbangan dengan memegang tiap ujung jendela. Dengan gerakan cepat, Ice berjongkok, kedua tangannya memegang tempat berpijak, membawa tubuhnya ke bawah hingga membuatnya bergelantungan.

Saat sudah dalam posisi itu, Ice baru sadar jika jendela pasti terkunci dari dalam. Ice mengutuki diri.

Masih dengan posisi bergelantungan, kakinya menendang jendela. Langsung terbuka. Tidak terkunci. Astaga, apa ia harus berterima kasih kepada murid pembuat onar? Yang selalu merokok di toilet? Atau ini sepenuhnya keberuntungan Ice?

Hai finito le parti pubblicate.

⏰ Ultimo aggiornamento: Feb 03 ⏰

Aggiungi questa storia alla tua Biblioteca per ricevere una notifica quando verrà pubblicata la prossima parte!

MetallospaeraDove le storie prendono vita. Scoprilo ora