Si Kembar

6 1 0
                                    

     Rabu, 28 Juli, tepatnya pukul 13.26 WIB, tangisan bayi memenuhi ruangan VVIP rumah sakit Lestari. Dwipayana dan Arunika, pasangan suami istri yang berbahagia menyambut kehadiran pelita hidup mereka siang ini. Dwipa terlihat menggendong sang putra dan putri penuh haru. Mengumandangkan adzan di telinga sang buah hati dengan tangis bahagia.
     “Kamu udah punya nama untuk mereka, Mas?” tanya Aru.
     “Udah.” balas Dwipa tersenyum.
    “Apa namanya?”
    “Yang abang namanya Narendra Cahyo Dwipayana, kalau yang adek namanya Naraya Cahya Dwipayana. Narendra artinya orang yang sekuat dewa, sedangkan Naraya artinya harapan bagi semua makhluk. Cahyo dan Cahya berisi harapan aku supaya mereka selalu bersinar indah seperti namamu, Arunika. Terakhir, Dwipayana adalah namaku, yang sengaja ku selipkan di akhir nama si kembar.”
***************************************
    7 tahun kemudian…
    Seorang bocah laki-laki berseragam merah putih berjalan mengitari kantin. Mencari sosok adiknya yang keras kepala. Atensinya terkunci pada bocah yang asik makan mie di meja kantin itu.
     “Adek!” teriak Naren yang dating bersama kedua temannya, Deon dan Ghani.
     Nara, adik kembar Naren itu pucat pasi. Menyembunyikan mie instan yang ada di tangannya. Tapi Naren terlalu pintar untuk adiknya yang sangat bodoh dalam hal membohonginya.
    “Udah berapa kali abang bilang, jangan beli mie. Ga sehat. Sini mie nya, biar di makan sama Deon sama Ghani.”
     Nara pasrah saat Naren mengambil paksa mie yang di tangannya. Ingin menangis dan mengadu ke Aru dan Dwipa, tapi pasti mereka berpihak pada Naren. Merasa marah, ia pergi meninggalkan Naren dan teman-temannya. Naren yang malas meladeni drama Nara pun membiarkan adiknya itu. Berbeda dengan Deon yang mengejarnya sebagai perwakilan Naren.
***************************************
     “Abang jahat, Yon. Nara kan udah lama ga makan mie, masa ga boleh sih? Huwaaa. Abang ga sayang sama Nara.”
     “Naren Cuma jagain kamu. Ra. Dia sayang sama kamu.”
     “Gitu ya, Yon?”
     “Iya.”
     Simpel, bukan? Selalu seperti itu. Tidak Deon maupun Ghani, mereka selalu jadi perantara asal Naren dan Nara kelahi. Yang lucunya adalah Nara mendatangi rumah mereka setiap beradu argument dengan abangnya itu, berhubung rumah mereka dekat.
***************************************
     Pukul 12.30 WIB. Terlihat seorang wanita berkepala 3 menanti anak-anaknya pulang sekolah. Setelah menunggu 15 menit lamanya, senyumnya merekah melihat buah hatinya muncul.
     “Abang, Adek!”
     Naren dan Nara berlari ke arahnya. Ya, dia Aru. Arunika Putri, wanita hebat yang melahirkan si kembar di hadapannya ini. Di perjalanan, banyak hal yang mereka perbincangkan. Seperti bertukar perasaan terhadap anak-anaknya ini.
     “Mama, tadi adek makan mie.” kadu Naren.
     “Tapi ga jadi, Ma. Abang datang sambil marah-marah terus ambil mie nya.” bantah Nara.
     “Ya kalau ga gitu, Adek nanti makan mie. Kan kata mama, mie tuh ga sehat.”
     “Tapi kan belinya pakai duit, Bang.”
    “Hush, udah. Adek salah karena makan mie, kan mama udah sering bilang, mie ga sehat. Abang juga salah udah marahin adek di depan umum.”
    Bukannya damai, perdebatannya justru kian melebar. Aru berusaha melerai si kembar itu, tapi mereka terlalu keras kepala. Saat mobil berhenti, jantungnya berdegup kencang. Ada mobil mertuanya di rumahnya. Saat turun, tamparan keras mengenai pipinya. Ia terdiam. Berusaha mencerna keadaan.
    “Tahan dulu, Dwipa. Bawa masuk anak-anak.” ucap Sari, ibu Dwipa.
    “Mas, kamu kenapa?” tanya Aru kaget.
    Dwipa masih diam. Disuruhnya Dewi, kakak kembarnya untuk membawa Naren dan Nara masuk. Setelah aman, hanya ada mereka di ruang tamu itu. Dwipa melempar foto-foto yang membuat Aru pucat.
    “Mas,kamu dapat foto ini darimana?” tanyanya lirih.
    Di sana, terlihat jelas Aru berpelukan dengan pria lain. Bergandengan kesana-kemari. Aru yang tak tahu apa-apa, menatap Sari. Ah, dia paham, ini pasti ulah Sari. Dari dulu, hubungannya dengan Dwipa tak pernah direstui. Ternyata begini cara main mertuanya.
    “Mas, foto ini diedit.” belanya.
    “PEMBOHONG! Saya kecewa dengan kamu, Arunika! Susah payah saya menentang keluarga saya hanya untuk meminta restu menikahimu, sekarang amu berkhianat?”
     Terlihat air tergenang dari pelupuk mata Dwipa maupun Aru. Dwipa yang kecewa karena pengkhianatan istri tercintanya, pun dengan Aru yang difitnah oleh ibu mertuanya.
    “Kamu jangan bohong, Aru. Saya lihat sendiri kamu memeluk pria lain.” ucap Sari memanasi suasana.
    “Ibu! Aru tahu, Ibu ga pernah suka sama Aru, tapi jangan gini, Bu.”
    “JANGAN FITNAH IBU SAYA, ARU!”
    “MAS! AKU YANG DIFITNAH! AKU YANG DIRUGIKAN DI SINI!”
    “KAMU YANG SELINGKUH!”
     “AKU GA SELINGKUH, IBU KAMU UDAH FITNAH AKU!”
    Plak!
    “Saya kecewa sama kamu. Lebih baik kita hidup masing-masing. Saya ceraikan kamu mulai hari ini.”
    Aru terduduk. Air matanya tak terbendung lagi. Dwipayana, suami tercintanya baru saja menceraikannya, hanya karena kesalahan yang tak ia perbuat. Dwipa berjalan menuju kamar anak-anaknya. Membawa mereka secara paksa. Tapi teriakan Aru membuat hatinya sakit.
    “Tolong, jangan bawa anak-anakku. Aku ibunya. Aku yang melahirkan mereka. Mas, ceraikan aku. Tapi berikan hak asuh Naren dan Nara padaku.”
     Tangisan Dwipa pecah saat mendengar penuturan Aru. Mau sekecewa apapun, ia tetap mencintai Aru. Hanya saja, ia benci pengkhianat dan pembohong.
     “Hak asuh Naren di kamu, dan aku bawa Nara.”
     Naren memeluk Nara menenangkan. Bocah itu tak paham dengan pertengkaran orang tuanya. Ia hanya berharap papa mamanya akur lagi. Dwipa mendekati mereka.
     “Adek, mau ikut papa?”
     Nara mengangguk. Bayangannya bahwa mereka akan pergi bersama Naren, mama, oma dan tantenya. Sedangkan Ddwipa, ia menatap putra sulungnya dalam, kemudian memeluknya erat. Tangisnya terisak. Ruangan itu mencekam dan menyiksa Dwipa serta Aru.
     “Abang, Abang harus jadi kuat ya. Jagain mama.”
     Naren pun hanya mengangguk. Setelah itu, Dwipa membawa Nara pergi bersamanya. Tak memedulikan tangisan Aru yang makin histeris.
     “JANGAN! JANGAN PISAHIN MEREKA! DWIPAYANA, KEMBALIKAN ANAKKU. KEMBALIKAN NARAYA.”
     Tangisan itu kian tenggelam seiring dengan menjauhnya mobil milik Dwipa. Nara yang duduk di belakang, lebih tepatnya di samping tantenya bingung.
     “Papa, abang sama mama ga ikut?” tanyanya membuat Dwipa terdiam.
     “Enggak.” jawabnya singkat.
     “Tapi adek mau sama mama, sama abang juga.”
     “Adek sama papa aja, ya.”
     “GA MAU! MAUNYA SAMA MAMA!”
     “ADEK!”
     Nara menangis. Baik Sari maupun Dewi berusaha membujuknya, tapi nihil. Hingga akhirnya Nara tertidur karena lelah menangis. Jujur, Dwipa tak tega, tapi egonya terlalu tinggi.

TBC <3
SORRY BERANTAKAN HEHE

Broken MelodiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang