……..





Di ruang tengah sudah ada Ansel, Ian, dan Steve. Hanya itu saja. Sedangkan keluarga yang lain sedang melakukan kegiatannya masing-masing.

Ervan berlari kecil ke ruang tengah dengan ekspresi sok keren. Melewati setiap benda benda dengan berulang kali, memutari benda itu.

"Tikungan tajam akan segera Ervan lalui, wuushhhh," gumam Ervan.

Tingkah Ervan itu tidak luput dari tatapan kakaknya. Ian bergumam dalam hati, apa yang sebenarnya adiknya lakukan. Tak lupa tangannya mengelus telinganya yang perih karena jeweran dari mommy nya. Jika kalian lupa, Ervan tadi mengadu pada mommy nya tentang ia yang mengucapkan kata bangsat.

"Ervan, sini." Steve mencoba menarik perhatian adiknya. Apa Ervan tidak pusing memutari setiap benda yang ia lalui? Steve yang membayangkan saja tidak sanggup. Adiknya memang super.

Ervan yang mendengar itu langsung menuruti panggilan kakaknya. "Siap, Ervan di sini," balas Ervan dengan posisi badan tegap.

"Nakal," ucap Ansel dengan nada rendah. Lirikan tajamnya mampu membuat Ervan diam tak berkutik.

"Ervan gak nakal kok, Ervan kan anak baik-baik, hehehe," balas Ervan. Tak dipungkiri jika ia gelagapan menjawab perkataan kakaknya. Takut jika kakaknya akan marah lagi.

Maid yang tadi membawakan segelas susu langsung meletakkannya di atas meja.

"Kenapa lama sekali hanya untuk sekedar membuatkan susu. Ervan, apakah maid ini sangat lambat untuk mengerjakan pekerjaannya?" sarkas Ian.

Maid itu seketika gugup. Tidak berani membela dirinya sendiri. Menyela pun tidak berani. Ia merapalkan doa dalam hati supaya Ervan mengatakan yang sebenarnya. Ia takut dipecat karena kinerjanya.

"Gak boleh nuduh. Kak Ian jahat, Ervan gak suka." Ervan merenggut tidak suka ketika kakaknya seperti menuduh maid yang tidak-tidak.

Oke, Ian kalah.

"Maaf, kakak hanya bertanya." Kali ini Ian berucap dengan nada sedikit lembut. Hanya untuk adiknya.

"Bibi bisa balik," ucap Ervan dengan senyum manisnya. Menyuruh maid itu untuk kembali ke dapur.

Maid menghela napas lega. Sangat berterimakasih kepada bungsu Orlando itu karena telah menyelamatkannya dari suasana mencekam seperti ini. Membungkukkan badannya sebentar lalu berjalan pelan menuju dapur.

"Tadi Ervan ajak main tebak-tebakan," balas Ervan. Setelah itu ia mulai mendekat pada meja dan mengambil gelas yang berisi susu. Ansel mengode adiknya untuk duduk di sampingnya, dan Ervan menurutinya.

"Jangan terlalu berinteraksi dengan orang lain, paham!" Ansel memperingati adiknya dengan suara rendahnya. Ansel tidak suka jika ada yang mengalihkan perhatian Ervan dari mereka. Orang lain tidak boleh berinteraksi dengan adiknya, Ervan hanya milik keluarganya.

Ervan menganggukkan kepala di sela sela meminum susu. Sebenarnya Ervan tidak terlalu mendengar perkataan Ansel karena ia sedang menikmati manisnya susu tersebut.

"Hm, enak." Ervan menutup matanya dengan lidahnya yang menjilati sekitaran mulutnya.

"Tidur, sudah malam." Ian bangkit dari duduknya dan berjalan menuju adiknya. Berniat menggandeng tangan Ervan untuk pergi ke lantai atas bersama-sama.

"Ayo, Ervan ngantuk." Ervan menerima uluran tangan Ian. Sedangkan salah satu tangannya mengucek-ucek matanya yang gatal dengan mulut kecilnya yang menguap lebar.

"Ervan tidur dulu kakak. Ervan besok sekolah. Harus bangun pagi-pagi," pamit Ervan pada Steve dan Ansel yang masing-masing sedang berkutat dengan laptopnya.

Ervan [End🤎]Where stories live. Discover now