Mobil sedan yang membawa Yunan cs datang.

"Hati-hati. Maaf aku sepertinya cuma bisa hadir di sidang perdanamu. Semoga Allah kasih kelancaran sampai pengadilannya tuntas," kata Malik sambil melambaikan tangan.

"Gak apa-apa. Syukran sudah datang. Salam untuk kru studio." Raesha membalas lambaian tangan Malik. Arisa mengatupkan tangan. Yunan tak sudi dadah-dadah dengan Malik.

Mobil melaju keluar dari gedung pengadilan. Raesha cemberut ke arah Yunan yang duduk di depan. 

"Gak pantes dia hadir ke pengadilan kasusmu!" mulailah omelan Yunan berlanjut.

"Kenapa gak pantes? Dia rela meluangkan waktu untuk memberi dukungan moril padaku!" bela Raesha.

"Ya iyalah gak pantes! Banyak wartawan! Kamu gak kapok digosipin lagi sama dia kayak waktu itu??"

"Beda kondisinya! Waktu itu dia semeja sama aku di taman bermain anak!"

"Bandel banget sih kamu! Gak pernah nurut kalo diomongin!"

Uh oh, batin Arisa dengan raut wajah pucat di balik cadarnya.

"Sudah, sayang. Jangan terlalu mengatur Raesha. Dia bukan anak kecil lagi," bujuk Arisa dengan suara lembut.

"Tuh denger, Kak! Aku udah besar! Bukan anak kecil yang bisa Kakak atur-atur!" ujar Raesha yang mendapat angin karena dibela Arisa.

"Kamu jangan ikut-ikutan! Tadi kulihat kamu duduk di samping Malik! Memangnya gak ada tempat duduk lain??" seru Yunan pada istrinya sambil memutar tubuhnya menghadap bangku belakang mobil.

"I-Iya. Tadi soalnya --," jawab Arisa gugup. Disangkanya Yunan tidak melihat. Arisa tadi buru-buru ingin berdiri setelah sidang ditutup, ternyata Yunan keburu menoleh ke belakang dan menemukan dirinya masih duduk di samping Malik.

"Yang nonton sidangnya 'kan ramai! Bisa aja Kak Arisa gak punya pilihan selain duduk di sana!" bela Raesha.

"Ah sudahlah! Kalian sesama wanita memang biasa saling membela!" kata Yunan sebelum kembali menatap ke depan. Melipat tangan dengan gaya tak acuh.

"Yang saling membela siapa? Kami cuma bicara apa adanya! Kakak aja yang aneh!" Raesha memblewekkan matanya ke arah Yunan, persis anak bocah.

Ya ampun, batin Arisa. Semoga dia dan Yunan cepat kembali ke tempat suluk. Terjebak di antara pertikaian mereka berdua, sungguh membuat depresi.

.

.

Esok harinya ...

Suasana sunyi di dalam mobil. Adli merasa kikuk, hanya berdua dengan Elaine saja di mobilnya. Haya tidak ikut sebab sepagi tadi, Haya menangis kesakitan sambil memegang pipinya. Dikira kenapa, ternyata sakit gigi.

"Katanya sakit hati lebih sakit dari sakit gigi! Bohong! Ini sakit bangeett!!" jerit Haya.

"Memangnya kamu pernah sakit hati?" komentar Adli datar.

"Pernah!!" bentak Haya.

Oh iya. Haya pernah terpaksa putus sama mantan pacarnya, batin Adli.

"Ibuuuu!!" rengek Haya sambil menangis memeluk ibunya.

"Iya iya. Buruan mandi. Ibu anter kamu ke dokter gigi," kata Erika yang baru bangun karena pintu kamarnya digedor-gedor Haya pagi-pagi.

"Berarti, ... ," kata Arisa sambil menoleh ke arah putrinya dan Adli di meja makan. Erika dan Haya sudah tak ada di sana, sebab mereka sudah pergi melesat ke dokter gigi.

"Biar aku antar Elaine ke sekolah, Kak," kata Adli tersenyum ke arah Arisa, meski ia tak bisa melihat wajahnya dari balik cadar. Adli sungguh kagum bagaimana Kak Arisa teguh menutupi wajahnya bahkan di saat makan. Pastinya sulit makan sambil mengenakan cadar.

ANXI EXTENDED 2Where stories live. Discover now