Raesha berwajah meringis, merasa bersalah karena dirinya jadi merepotkan orang banyak. Ia segera menuntaskan urusannya, sebelum beralih ke kamar anak-anaknya. Menambah beberapa baju santai Ismail dan Ishaq, sebelum mereka keluar kamar menuju ruang tamu.

"Sudah selesai?" tanya Yunan. Arisa dan Adli sudah duduk di situ juga bersama Yunan.

"Sudah," jawab Raesha.

"Yuk," ajak Adli saat berdiri. Barusan, Erika, Haya dan Elaine sudah berangkat naik mobil menuju tempat mereka akan makan bersama. Maka mereka juga sebaiknya berangkat sekarang.

Raesha mensejajarkan langkahnya ke samping Adli.

"Adli, maaf. Kakak belum berani tinggal di rumah ini, jadi Kakak sama anak-anak sementara masih tinggal di rumahmu, ya," bisik Raesha.

Adli nampak terkejut mendengarnya. "Ngapain pakai izin segala sama aku, Kak? Itu rumahmu juga!"

Suara Adli yang agak meninggi, terdengar oleh Yunan dan Arisa di belakang mereka, terselak oleh Ismail dan Ishaq yang mengekor ibu mereka.

"He he. Ya 'kan, itu sebenarnya bukan rumah Kakak lagi," kata Raesha dengan cengiran.

Adli merangkul Raesha dan menyandarkan kepalanya di bahu Raesha.

"Itu masih jadi rumah Kakak. Sejak dulu sampai kapan pun. Selama aku masih bernyawa, tidak ada yang bisa mengusir Kakak dari sana. Titik. Kakak boleh tinggal di sana selama yang Kakak mau," kata Adli dengan suara lembut.

Raesha tercekat tenggorokannya. Nyaris menitikkan air mata. Sebenarnya, semenjak Ilyasa tidak ada, Raesha merasa seperti terombang-ambing. Berada di rumah yang dibangun dengan keringat Ilyasa, tanpa ada Ilyasa di sana, membuatnya merasa sedih. Sebenarnya. Raesha sudah ingin pergi dari rumah itu sejak Ilyasa tiada. Kenangan akan Ilyasa bertebaran di rumah itu. Seringkali membuat hatinya serasa disayat-sayat.

Yang membuat Raesha bertahan di sana selama ini, adalah karena rumah itu berada tepat di samping madrasah tempat anak-anak sekolah. Dan kini trauma buruk akan menyusupnya Sobri ke rumah itu, akhirnya mendorong Raesha pindah ke rumah Adli, entah sampai kapan.

Yunan diam saja, tapi Arisa tahu kalau suaminya iri. Yunan iri tiap melihat kedekatan Adli dan Raesha. Sedekat apapun Yunan dengan Raesha, batas itu tetap ada. Batas syari'at. Batas yang membuat keduanya menahan diri.

"Ya Allah! Ketinggalan!" seru Raesha.

"Apa yang ketinggalan, Rae?" tanya Yunan.

"Em ... itu. Palu mainannya Ilyasa," jawab Raesha malu.

Air muka Yunan berubah. Cemburu, lagi, tebak Arisa. Kali ini, Yunan cemburu pada yang sudah jadi almarhum.

"B-Buat mainan anak-anak. Ha ha," imbuh Raesha, seolah harus punya alasan selain dari ingin membawa palu mainan itu untuk dia peluk saat kangen Ilyasa.

"Biar aku yang ambil!" kata Ismail mengambil inisiatif.

"Atau Om aja?" tanya Adli tidak yakin. Entah bagaimana Adli merasa Kak Yunan sebenarnya tadinya ingin mengambilkan, tapi begitu mendengar bahwa barang yang tertinggal adalah palu mainan peninggalan Ilyasa, Kak Yunan sepertinya agak -- apa, ya? Cemburu? Apa iya Kak Yunan cemburu pada almarhum Kak Ilyasa?

"Biar aku aja, Om!" kata Ismail mantap, sebelum berbalik dan berlari masuk ke rumah.

Semua orang terdiam, berdiri menunggu Ismail kembali.

"Kamu suka mainin palu itu, Ishaq?" tanya Yunan pada Ishaq.

"Enggak, Om. Itu mainan kesayangannya Ibu," jawab Ishaq dengan tampang polos.

Raesha menundukkan kepala. Malu bukan kepalang.

"Oh," gumam Yunan singkat.

Arisa menatap tajam ke arah suaminya. Ngapain sih, pakai ditanyain segala?? omelnya dalam hati.

Adli pura-pura tidak dengar.

Nah lhoo!! Mulai lagi, deh. Awkward moment.

.

.

Ismail berjalan cepat menuju pintu. Pintu depan terbuka dan ia masuk ke dalamnya.

Bocah itu cukup jeli membaca apa yang terjadi barusan di luar sana. Om Yunan cemburu saat melihat Om Adli bermanja-manja di bahu ibunya. Lalu. Om Yunan kembali cemburu saat mendengar bahwa ibunya ingin membawa serta palu mainan milik almarhum Bapak. Palu yang kata almarhum Bapak, memiliki kenangan manis kisah cinta antara Bapak dengan Ibu.

Ishaq masih terlalu kecil untuk memahami, kalau Om Yunan dan Ibunya saling memendam rasa. Padahal, keduanya tahu, ada Tante Arisa di antara mereka. Mereka terlihat menjaga sikap, karena keduanya sebenarnya bukan mahram, dan sekaligus demi menjaga perasaan Tante Arisa. Perasaan orang dewasa sangat rumit. Seperti apa rasanya jatuh cinta?

Ismail masuk ke dalam kamar Ibunya. Rak besi masih dalam keadaan terakhir. Jatuh di lantai. Ibunya masih belum ingin menyentuh rak besi itu, yang pernah menimpa Sobri.

Palu mainan itu rupanya terjatuh hingga samping nakas. Ismail memungut palu berbulu itu. Menatap benda istimewa di tangannya seolah sedang melihat almarhum Ilyasa. Matanya terasa panas. Waktunya bersama Bapak sangat singkat. Bapak belum sempat melihatnya tumbuh dewasa.

Ismail buru-buru menghapus sesuatu yang basah di pelupuk matanya. Tidak. Takdir Allah pasti baik. Selalu baik.

Saat hendak berdiri, mata Ismail menangkap laci nakas terbuka dua buah. Ia menutup laci terbawah yang kosong, dan tertegun saat melihat kertas dengan tulisan tangan di atasnya, ada di laci tengah yang terbuka.

Laci kedua ditarik keluar. Pupil mata Ismail mengecil. Ia mengenali tulisan itu. Tulisan tangan Bapaknya.

Kelopak mata Ismail terbuka melebar. Napasnya tertahan saat membaca isi beberapa lembar surat di sana.

.

.

"Lama banget Ismail. Aku susul, deh," kata Adli yang mulai gelisah. Bolak-balik ia melirik jam tangan.

Baru akan menyusul Ismail, bocah itu muncul, keluar menuju pagar rumah.

"Lama banget," kata Adli.

"He he. Maaf, Om. Aku tadi sekalian ke kamar mandi dulu," jawab Ismail. Dia tidak bohong. Memang sempat ke kamar mandi dulu, tapi dia memang sengaja menyiapkan jawaban itu jika ditanya kenapa lama sekali di dalam rumah.

Raesha menggembok pagar.

"Pintu depan gak perlu dikunci juga?" tanya Yunan.

"Halah. Dikunci juga percuma, Kak. Jendela kamarku 'kan jebol. Sudahlah. Bismillah. Mudah-mudahan gak ada maling masuk. Tapi kalau pun ada barang-barangku yang diambil, ya sudah lah kuikhlasin aja," sahut Raesha dengan muka pasrah.

"Besok insya Allah staf kontraktor datang, Kak. Mau bongkar pintu dan jendela kamarmu. Sekalian ngukur dan buatkan yang baru. Keramik lantaimu juga ada yang retak kena kapaknya si Sobri gila," kata Adli ngasal.

"Hus. Oke, nanti Kakak titipkan aja kunci pagar sama kamu. Makasih, Adli," ucap Raesha dengan senyum manis.

"Sama-sama, Kakakku yang cantik," jawab Adli merangkul Raesha lagi.

Yunan di belakang mereka, cemberut lagi.

Arisa menggeleng pelan. Hiss. Mau sampai kapan sih begini? batinnya gemas. Ingin rasanya memukul kepala suaminya dengan palu mainan yang ada di tangan Ismail.

Mereka masuk ke dalam mobil. Mesin mobil dinyalakan dan mobil sedan biru muda yang mulus itu melaju di jalanan.

Palu mainan kini sudah beralih ke pangkuan Raesha. Ismail sejak tadi diam saja, menatap ke luar kaca mobil.

Surat sekian lembar yang ditulis Ilyasa, kini berpindah ke kantung celana Ismail.

.

.

***

ANXI EXTENDED 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang