I

44 3 0
                                    

_________________________________________________________________

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

_________________________________________________________________

Menjalin hubungan itu seperti makan.
Terkadang kau memakan sesuatu yang pedas tapi tetap tidak ingin berhenti karena terasa enak. Walau membakar lidah, walau membuat perutmu sakit, walau membuatmu berkeringat, kau tetap menikmati semua sensasinya. Terkadang juga kau memakan sesuatu yang manis, membuat mu merasa mual dan akhirnya berhenti karena itu membosankan.

Hubunganku saat ini terasa seperti makanan yang pedas. Menyakitiku berkali-kali, mematahkan hatiku lagi dan lagi, tapi aku terus memaksakan diri menjalin hubungan ini karena menikmati sensasinya. Semakin sakit, terasa semakin nikmat. Walau air mataku tidak pernah berhenti mengalir deras.

"Mari putus."

Aku tahu aku akan mendengar kalimat itu cepat atau lambat. Sekarang atau lusa, rasanya sama menyakitkan. Dan hal bodoh terus terlontar dari mulutku, "Kenapa?" aku bertanya padanya.

Aku bertanya padanya meski tahu ribuan jawaban yang mungkin akan diberikannya. Karena dia bosan, mungkin. Karena dia menemukan orang lain yang lebih menyenangkan. Karena dia lelah selalu bertengkar denganku. Karena dia ingin lepas dariku yang monoton. Karena ...

"Aku ingin fokus pada studiku," sahutnya di tengah fikiranku yang riuh.

Senyum pahit terukir di bibirku, "Studi?" tanyaku setengah tak percaya. Tidak, aku sepenuhnya tidak percaya. Studinya akan tetap baik-baik saja meski dia tidak minta putus. Dia mengabaikanku lebih dari dua pekan lamanya, dan aku tetap menunggu dengan sabar untuk mendengar kata putus darinya? Dia bercanda?
"Apa aku sangat menyita waktumu?" tanyaku tidak puas.

Pupil mata Xavier bergerak gelisah, belum sekali pun dia menatap mataku sejak-mungkin-dua puluh menitan kami bicara. Aku tahu dia sedang merangkai kata di dalam kepalanya. "Aku tidak ingin bertengkar," sahut Xavier akhirnya.

"Tidak, bertengkarlah denganku untuk hari ini. Lagi pula kau akan tetap meminta putus," aku menekannya sedikit tidak sabaran. Ini memalukan, harus aku akui. Tapi rasanya tidak akan memuaskan jika tidak mengungkapkan semua yang ada di kepalaku untuk yang terakhir kalinya. Lagi pula, kami tidak akan pernah bertemu lagi. Aku yakin seribu persen soal itu.

"Kau selalu memintaku datang di malam minggu, pergi berkencan denganmu, menghabiskan waktu di akhir pekan ... aku bahkan tidak memiliki waktuku sendiri."

Aku tidak percaya bisa kehabisan kata-kata secepat ini. Satu-satunya yang bisa aku lakukan hanya menggigit bibir dan menjatuhkan pandangan di ujung sepatuku. Diam-diam berharap menemukan kalimat motivasi di bawah sana untuk menampar wajahnya yang tampan.

Dan, dua menit berlalu terasa seperti dua jam. Jangan kan kalimat motivasi, aku bahkan enggan bicara sekarang. Miris mengingat bahwa aku lah yang menginginkan perdebatan ini, tetapi justru kalah terlalu cepat. "Bukankah aku sudah memberi waktu dua pekan? Aku bahkan tidak mengirim pesan atau menelpon mu," kataku putus asa.

Relation-shit!Where stories live. Discover now