Chapter 7: Akhir Perjalanan

Start from the beginning
                                    

Pagi hari suara burung yang berkicau terdengar tengah bernyanyi dengan merdunya. Langit biru yang cerah dengan matahari yang bersinar indah, menambah suasana istimewa pada pagi hari ini. Mungkin, hari ini terlihat biasa saja. Namun, bagi dua orang pria yang tadi malam bertemu dalam mimpi, hari ini adalah yang membahagiakan karena akhirnya jiwa mereka bisa kembali ke tubuh masing-masing.

Pertengahan September 1965, mata tajam itu kembali bernetra hitam, hal itu membuktikan bahwa jiwa mereka benar-benar sudah kembali ke tempatnya masing-masing.

Perlahan Pierre mengedarkan pandangannya. Ia menatap sekitar ruangan beraroma mint dengan nuansa jawa klasik itu. Ia lantas tersenyum lebar dan berlari keluar saat menyadari bahwa ia terbangun di rumah keluarganya yang berada di Semarang. Saat hendak menuju ruang keluarga, ia berpapasan dengan sang Ibu bernama Cornet Tendean yang diduga baru pulang dari pasar.

"Pagi, Pierre. Kamu nyenyak kan tidurnya?" sapa sang Ibu dengan senyuman. Tanpa menjawab, Pierre justru langsung memeluk sang Ibu dengan erat. Jujur, ada ketakutan yang terus menghantuinya akhir-akhir ini. Entahlah, ia sangat merindukanmu keluarganya layaknya tak akan pernah bertemu lagi. Mungkin, karena sebelumnya ia mengira bahwa ia akan terus terjebak dalam dunia itu, tetapi ternyata takdir memihaknya dan membawanya kembali.

"Ada apa, Nak? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ny. Cornet Tendean dengan heran.

"Aku baik-baik saja, Mi. Aku hanya merindukanmu," ucap Pierre langsung membuat Ny. Cornet Tendean tersenyum.

"Mami juga merindukanmu. Untung saja kamu pulang kemari kemarin," ujarnya mengelus rambut sang putra.

"Yaudah kalau begitu ayo kita ke ruang makan untuk sarapan," ajaknya langsung dibalas anggukan oleh Pierre.

Suara dentingan sendok beradu dengan piring, suasana meja makan terasa sangat hangat karena dipenuhi dengan cerita dan canda tawa. Berbagai makanan kesukaan Pierre mulai dari kue sus, ayam panggang, sambal bajak dan sirup manis tertata rapi di atas meja. Namun, dipertengahan perbincangan hangat itu, suara dering telepon rumah terdengar nyaring seolah memotong pembicaraan.

"Bentar ya," ucap sang Ibu hendak beranjak dari duduknya.

"Biar aku saja, Mi," sahut Pierre lantas langsung beranjak pergi mengangkat telepon rumah yang tak henti-hentinya berbunyi.

"Halo?"

"Halo, Pierre. Aku Nasution, bisakah kamu datang ke rumahku? Aku ingin memberikanmu tugas untuk menjaga putri bungsuku," ujar seseorang dari balik telepon.

"Jendral Nasution? Siap! Laksanakan, Jendral! Tetapi, maaf karena saya tidak bisa datang ke sana sekarang. Saya akan berangkat ke sana nanti siang, Jendral. Karena saat ini saya masih berada di rumah keluarga saya di Semarang," terang Pierre dengan perasaan sedikit tidak enak.

"Tidak apa-apa, Pierre. Kamu tidak perlu merasa tidak enak, karena seharusnya aku yang merasa begitu. Maaf karena sudah menggangu waktu liburmu bersama keluarga," ucap Jendral Nasution terdengar merasa bersalah.

"Tidak apa-apa, Jendral. Itu memang sudah tugas saya sebagai ajudan Anda," ujar Pierre lantas membuat Nasution tertawa.

"Baiklah-baiklah, aku menjadi semakin yakin telah memilihmu menjadi ajudanku. Kalau begitu sampai sini saja, aku tunggu kedatanganmu," ucap Jendral Nasution.

"Siap! Laksanakan, Jendral."

Setelah panggilan ditutup, Pierre menghela napasnya, karena bagaimanapun juga ia baru bertemu dengan keluarganya, dan hari ini sudah harus berpisah lagi. Walaupun ia sudah terbiasa, tetapi kali ini ia merasa tidak rela, apalagi setelah melihat senyuman sang Ibu yang begitu bahagia karena kedatangannya.

Arya PierreWhere stories live. Discover now