Chapter 3: Perubahan

Start from the beginning
                                    

"Harusnya ada sesuatu disini," gumamnya mulai menyusuri rak-rak dengan setumpuk kertas-kertas yang terbungkus dalam dokumen.

Ia mulai membuka dokumen itu satu persatu, namun hanya ada arsip misi-misi dan beberapa dokumen biodata anggota militer. Tangannya kemudian terulur meraih sebuah dokumen biodata yang menampakkan foto seorang pria yang tak asing diingatannya, yaitu biodata pria berbadan kekar yang ia panggil 'Om' kemarin. Ia kemudian mulai membaca deretan huruf-huruf dengan ejaan lama yang sering ia temui dipelajaran sejarah. Pria itu ternyata bernama Bima Soediono, seorang anggota TNI berdarah Jawa yang berpangkat Sersan II.

Saat tangannya terulur hendak membuka dokumen yang bertuliskan 'MISI TAHUN 1960-1965', sebuah suara pintu yang terbuka menghentikan pergerakannya.

"Saya sudah mencari Anda kemana-mana, ternyata kapten ada di sini," ujar seorang pria yang tampak asing.

"Ada perlu apa mencari saya?" tanyanya dengan nada kaku. Sungguh peran ini terlalu berat untuk anak muda yang hanya tau senang-senang sepertinya.

"Anda mendapat perintah untuk menghadap Jendral Ahmad Yani diruangannya," jelasnya dibalas anggukan.

"Bisa tolong antar aku ke ruangannya? Tubuhku masih belum pulih," ujarnya beralasan, karena nyatanya ia bahkan tidak tahu di mana letak ruangan itu.

"Dengan senang hati, Kapten."

Setelah menyusuri koridor selama kurang lebih 10 menit, mereka pun sampai di depan ruangan yang dituju.

"Pierre, bagaimana keadaanmu?" tanya sang Jendral.

"Saya baik-baik saja, Pak," jawabnya justru membuat sebuah kerutan muncul didahi Jendral Ahmad Yani.

"Sepertinya kamu masih memerlukan istirahat lagi. Setelah melaporkan hasil misimu kemarin, kembalilah ke asramamu," ucapnya dengan penuh pengertian.

"Baiklah, Pak. Terima kasih atas perhatiannya," ucapnya dengan nada begitu semangat layaknya pemuda yang senang saat jam kosong sekolah.

"Jadi?" tanya Jendral menatap Pierre meminta penjelasan.

"Jadi? Jadi apa? Kodok?" celetuknya asal.

"Pierre! Ini bukan saatnya kamu bercanda. Kenapa kamu menjadi tidak professional seperti sebelumnya hah?!" cerca Jendral Ahmad Yani kesal. Saat ia ingin mengeluarkan amarahnya kembali, sebuah ketukan pintu terdengar, hingga menampilkan seorang pria muda yang tengah berdiri dengan gagahnya.

"Ada apa Bima?"

"Siap! Izin Melapor, Jendral!" ucap Bima tegas lalu berjalan masuk setelah mendapatkan perintah.

"Maaf sebelumnya, Jendral. Kedatangan saya kemari ingin mewakili Kapten Pierre untuk melaporkan tentang hasil dari misi kemarin, karena seperti yang telah Anda lihat bahwa Kapten Pierre masih membutuhkan istirahat," jelas Bima seketika membuat binar mata terlihat jelas dimata Pierre. Tatapan itu seolah berkata bahwa, 'Om, Anda sungguh pahlawanku.'

"Baiklah, aku mengerti. Pierre kembalilah ke asramamu, dan Bima silahkan laporkan hasilnya secara lengkap padaku," perintahnya langsung dibalas anggukan cepat oleh Pierre.

"Duh, mampus gue. Misi apaan juga yang dibicarain si Jendral tadi," gumamnya sembari berjalan dengan cepat.

"Apa nanti gue nanya ke om Bima aja kali, Ya? Iya benar! Dari sikapnya tadi aja, sepertinya dia tahu sesuatu," ujarnya berbicara sendiri. Ia terus bermonolog dan berpikir banyak hal hingga tanpa sadar sampai di depan kamar asramanya. Namun, ia mengernyitkan dahinya saat seorang gadis berpakaian jadul tengah duduk dikursi depan kamarnya sembari memegang sebuah rantang besi berwarna putih.

Menyadari ada seseorang yang mendekat, gadis itu lantas mendongak hingga matanya bertemu dengan netra coklat Pierre. Namun tunggu, coklat? Sejak kapan? Bukannya sebelumnya hitam? Pikir gadis itu bertanya-tanya dalam hatinya.

"Mas Pierre dari mana saja? Aku sudah nunggu lama," ujarnya dengan suara yang lembut.

"Eeee, dari ruangan Pak Jendral," jawabnya yang justru terdengar aneh.

"Kamu gimana keadaannya, Mas? Aku kaget dengar Mas Pierre terluka saat menjalankan misi. Aku khawatir dan langsung berangkat dari Medan ke sini," jelasnya menatap Pierre dengan penuh kekhawatiran.

"Gu- Eh, maksudnya aku tidak apa-apa."

"Alhamdulilah, aku seneng dengernya. Yaudah ayo duduk mas, tadi aku sudah masakin makanan kesukaan mas," ujarnya menarik tubuh Pierre yang kaku untuk duduk.

Pierre yang kini ditempati oleh Arya lantas terdiam melihat gadis itu tengah membuka tempat makanan dengan telaten. Ia lantas menatapnya dari atas hingga bawah. Cantik, batinnya tanpa sadar. Gadis ini memang jauh dari tipe idealnya yang lebih menyukai bule, tetapi ini baru pertama kalinya Arya melihat seorang gadis yang cantik alami tanpa make up dengan kulit sawo matangnya. Sungguh berbeda dengan para wanita di dunianya yang berlomba-lomba untuk menjadi gadis berkulit putih.

"Ini mas," ucapnya menyodorkan sepiring nasi jagung lengkap dengan lauknya.

"I-Ini apa?" tanya Pierre.

"Hah? Mas bercanda? Ini kan nasi ampok kesukaan, Mas."

"Oh, iya, hahahaha," ujar Pierre tertawa garing. Ia heran menatap gadis yang kini tengah tersenyum tanpa ada keraguan dan kecurigaan atas sikapnya itu. Gadis itu sepertinya masih sangat lugu, pikir Arya menebak.

"Sendok sama garpunya mana?"

"Sendok? Biasanya kan mas lebih suka pakek tangan kalau makan nasi ampok," jelas gadis itu lagi, yang seketika membuat Pierre berdecak.

Setalah selesai mencuci tangan, ia menatap sepiring nasi itu dengan ragu, karena sungguh ia tak pernah memakan nasi kuning yang terlihat seperti baru diblender ini.

Perlahan, sesuap nasi telah masuk ke dalam rongga mulutnya. Ia terdiam merasakan rasa yang tak pernah ia coba ini, kemudian berbinar ketika rasa makanan itu menyatu dengan lidahnya.

"Anjir ini makanan apaan? Enak banget buset," celetuk Pierre tanpa sadar.

"Hah?"

"Anu, pokoknya ini makanannya enak banget," jelas Pierre setelah ingat jika ia tak sendirian. Pujian itu lantas membuat gadis itu tersenyum dengan lebar sembari menatap Pierre yang tampak lahap.

"Btw, eh, maksudnya ngomong-ngomong kamu siapa?" tanya Pierre disela-sela makannya.

"Maksud mas gimana? Mas lupa sama Rukmini?" tanya gadis bernama Rukmini itu dengan sedih.

"Eh? Jangan sedih, gue- eh maksudnya aku tadi cuma bercanda, lagipula mana mungkin aku lupain temen sebaik kamu," ujar Pierre berusaha menghibur sembari meminum air putih yang telah disiapkan Rukmini sedari tadi.

"Temen? Kita kan udah tunangan mas, kamu lupa?" jelas Rukmini seketika membuat Pierre menyemburkan airnya karena terkejut.

"Uhuk-uhuk, maksud kamu apa?" tanya Pierre menatap gadis yang kini mengelus punggungnya dengan lembut itu.

"Ya, aku calon istri mas Pierre, dan Mas Pierre biasa panggil aku Mimin," ucapnya tersenyum dengan sangat manis, namun justru membuat Pierre seolah ingin menangis.

"I-Ini apa lagi, Ya Tuhan? Gue berhasil lolos dari perjodohan yang direncanain romo, tapi kenapa disini malah udah mau menikah?" batinnya menjerit meratapi nasibnya.


to be continue~

Arya PierreWhere stories live. Discover now