Tak terasa matahari yang meninggi seolah sudah sampai di atas kepala, panasnya cuaca hari itu bahkan berhasil menembus tenda-tenda tim Banteng Hitam hingga mengusik seseorang yang tengah terlelap dalam tidurnya. Ia menatap jam tangan hitam yang bertengger elok ditangan kirinya, kemudian segera beranjak keluar setelah kesadaran sepenuhnya kembali.

"Anda sudah bangun, Kapten?" tanya Bima yang tengah meminum segelas kopi.

"Kenapa tidak membangunkan ku?" tanya Pierre menatap dengan kesal.

"Kami tidak tega membangunkanmu, kamu terlihat sangat kelelahan. Lagi pula masih ada waktu 2 jam sebelum misi dimulai," jelas Bima menyerahkan sekotak makanan. Mereka makan dengan tenang sembari menatap sekitar yang tampak sepi dan gersang.

Dua jam berlalu dengan cepat, setelah memastikan bahwa semua kebutuhan sudah lengkap, mereka segera berkumpul untuk mendengarkan arahan dari Pierre.

"LAKSANAKAN TUGAS SESUAI STRATEGI YANG SUDAH KITA BAHAS! DAN INGAT UNTUK SALING MENJAGA APA PUN YANG TERJADI. APA KALIAN PAHAM?" teriak Pierre menatap anah buahnya satu-persatu.

"SIAP, PAHAM, KAPTEN!" balas anggota tim Banteng Hitam dengan kompak.

"BERSIAP DIPOSISI, KITA BERANGKAT SEKARANG!" perintah Pierre yang langsung dikerjakan oleh anak buahnya.

Tak sampai 30 menit, mereka telah sampai di markas rahasia para petinggi PKI di Jawa Timur. Tepat 200 meter, terlihat sebuah bangunan tua berdiri di tengah lahan kosong. Bangunan ini lebih seperti sebuah pabrik terbengkalai, dinding lembab yang sebagian sudah retak, cat yang sudah mengelupas, rerumputan yang panjangnya lebih dari satu meter, serta tanaman rambat yang menjalar seolah memeluk dinding bangunan itu.

Dengan isyarat, Pierre memerintahkan anak buahnya untuk berada diposisi masing-masing untuk mengepung area ini. Sementara Pierre memimpin pasukan inti untuk menerobos masuk guna mencari informasi seperti apa yang telah ditugaskan.

"Kalian tetap berada diposisi untuk berjaga-jaga apabila terjadi hal yang tak terduga," bisik Pierre diangguki oleh pasukannya.

"Hati-hati, Kapten!" ucap salah satu anak buahnya dibalas anggukan singkat oleh Pierre.

Dengan bersembunyi direrumputan yang panjang, Pierre, Bima, dan pasukannya perlahan melangkah mendekati gedung dengan waspada. Mereka merapatkan diri di dinding dan menatap sekitar sembari memberi beberapa kode isyarat. Setelah dirasa aman, Pierre memimpin mereka untuk masuk ke dalam gedung. Dan sesuai informasi yang mereka dapat setelah mengawasi area sejak pagi hari tadi, saat ini para petinggi PKI tersebut tengah melakukan rapat dengan serius. Pierre yang dasarnya sudah terlatih tentu tak kesulitan untuk menerobos gedung tanpa takut ketahuan, terlebih lagi tak ada penjagaan diluar gedung. Mungkin mereka tak ingin menimbulkan kecurigaan apabila menempatkan orang berjaga diluar.

"Mas Dit, piye menurutmu rencanane adewe seng sektas dibahas mau?" tanya seseorang yang Pierre tahu bernama Sjam.

"Sek-sek, piye mau aku ra ngrungokne," ujar Aidit lantas membuat mereka menghela napasnya.

"Dancok ye wei mas, kene wes omong nganti lambeku muntuk ra kok gubris, asu we mas," maki Sjam dengan begitu kasarnya.

"Lha piye lo, aku mau sek kepikiran karo bojoku og," ujar Aidit menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Ngene lo mas, Blitar iki kan wonge ki sek polos-polos, pekok-pekok. Piye nek adewe jajal nguasai Blitar iki, didadekne pusat e PKI. Kowe setuju opo ora?" tanya Sjam berusaha sabar.

"Yo jane aku setuju ae, tapi emang e we wes mikir piye carane?"

"Serku ngene, adewe terjun langsung nyedeki buruh-buruh daerah kene. Adewe gawe iming-iming seng apik ben mereka kabeh tertarik mlebu partai PKI," jelas Sjam membuat mereka lantas berpikir.

"Lha, iming-iminge piye?"

"Masyarakat sama rasa-sama rata," ucap Sjam bangga dengan idenya.

Namun, sebuah suara benda jatuh seketika mengalihkan atensi semua orang di saat mereka tengah serius-seriusnya mendengar rapat rahasia PKI tersebut.

"SIAPA DI SANA?" teriak salah satu anggota PKI sembari menatap sekitar.

"Gawat sepertinya ada mata-mata!" sahut rekannya.

Pierre yang mendengar hal itu lantas berdecak, bagaimana bisa Bima melakukan kesalahan seperti ini. Ya, benar. Bima tak sengeja menjatuhkan pelurunya hingga menimbulkan suara yang menggema dibangunan kosong yang sunyi itu.

Meningkatkan kewaspadaan, ia segera menembakkan peluru ke arah lain saat beberapa anggota PKI mulai mendekati area persembunyian Bima.

Dor

Tembakan itu menambah kewaspadaan mereka semua. Para anggota PKI seketika membentuk 3 kelompok. Kelompok pertama segera membentuk lingkaran memutar untuk melindungi para petingginya. Kelompok kedua segara berpencar mencari mata-mata yang bersembunyi sembari membawa senjata mereka. Dan kelompok ketiga segera berlari keluar karena mereka menebak jika bangunan ini telah dikepung.

Sebuah peperangan tak diinginkan terjadi. Sembari melarikan diri, Pierre dan teman-temannya mencoba menembak para anggota PKI di bagian kaki mereka. Terlalu fokus dengan musuh-musuhnya, membuat Pierre tanpa sadar terpisah dengan teman-teman. Naasnya lagi, peluru yang ia bawa hanya menyisakan 1 buah saja.

"Tch sialan, peluruku tinggal satu. Aku harus menggunakan peluru ini dengan hati-hati," batinnya.

"Menyerahlah, kamu sudah terkepung!" teriak salah satu anggota PKI dengan mengangkat sebatang kayu.

Dengan sigap, Pierre memasukkan pistolnya kedalam holster yang melingkar di pinggangnya. Membuat sebuah gerakan kuda-kuda dengan tatapan sengit, tangan yang terkepal itu memukul seseorang yang membawa kayu tersebut dengan cepat hingga mereka tak menyadari pergerakannya. Sebatang kayu yang tergeletak di bawah langsung ia ambil sebagai senjatanya.

Para anggota PKI menyerang secara bersamaan hingga membuat Pierre terpukul di beberapa bagian tubuhnya. Wajahnya penuh memar, keringat pertarungan itu bahkan sudah tercampur oleh darahnya yang membuat baju hijau itu sedikit berubah warna.

"Dasar pengecut! Beraninya keroyokan, sini maju satu-satu!" ujar Pierre menatap remeh.

Mereka tidak menggubris perkataan Pierre dan tetap mengeroyoknya, hingga...

Dor, suara tembakan seketika membuat keadaan sangat sunyi. Para anggota PKI mulai meneteskan keringat dinginnya ketika melihat kepala salah seorang anggota mereka ditembak membuat bercak darah bercecer kemana-mana.

Melihat musuhnya yang terlihat membeku dengan darah yang mengotori tubuh dan wajah mereka, Pierre kemudian mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri.

Saat kabur, tanpa sadar kakinya membawa tubuh penuh luka itu ke sebuah goa yang tampak asing. Entah sejak kapan goa itu ada disana, namun ia segera menepis pikirannya. Mau tidak mau, ia akhirnya berlari menuju goa itu. Pierre yang sudah berada di mulut goa segera melangkahkan diri masuk lebih dalam. Tubuhnya seolah ditarik bagaikan magnet, hingga ia menemukan sebuah cahaya yang bersinar dari dalam inti gua, cahaya itu seolah merayap di dinding-dinding yang tampak lembab. Tanpa pikir panjang, rasa penasarannya mengalahkan kewaspadaan yang selalu ia jaga. Namun, tiba-tiba saat ia berada di tengah gua, sebuah cahaya seolah menelan tubuhnya. Kilau cahaya yang menusuk mata seketika hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran Pierre.

to be continue~

Arya PierreWhere stories live. Discover now