Chapter 2: Secercah Cahaya

Start from the beginning
                                    

"Siap! Sanggup!" jawab Pierre tegas dan penuh rasa tanggungjawab.

"Baiklah, segera sampaikan kepada tim Banteng hitam dan segera bergegas menyiapkan barang-barang yang kalian perlukan. Kalian akan diberangkatkan besok."

"Siap, Ndan!"

Setelah percakapan itu selesai, Pierre segera berjalan menuju area gedung asramanya, mengumpulkan semua anggota, dan menyampaikan misi terbaru kepada tim Banteng Hitam sesuai dengan apa yang ditugaskan Jendral Ahmad Yani. Dengan cepat mereka segera mengemasi barang-barang, menyiapkan senjata, dan berbagai hal yang akan mereka butuhkan untuk keberangkatan mereka besok pagi.

Keesokan harinya, sudah beberapa jam berlalu setelah keberangkatan mereka. Dengan perasaan semangat dan jiwa nasionalisme yang berkobar, rombongan tim Banteng Hitam sejak pagi tengah sibuk menyusun strategi dan membagi tugas didalam mobil, hingga tak terasa langit yang awalnya berwarna jingga kini sudah menggelap. Cahaya matahari bahkan telah sepenuhnya tergantikan oleh sinar rembulan yang terang ditemani ribuan bintang yang seolah menggantung di langit untuk menerangi suasana dingin malam itu.

"Kapten, apakah perjalanan kita masih jauh?" tanya Bima, yang ikut dalam misi ini.

"Kita sudah hampir sampai, kurang lebih sekitar 10 jam lagi," jawab Pierre datar.

"Hampir sampai bapakmu itu! 10 jam itu lama," keluh Bima lantas membuat Pierre tertawa kecil.

Percakapan sederhana itu terhenti kala cahaya bulan semakin meninggi, suara-suara hewan malam seolah tengah menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur. Pierre menatap teman-temannya yang mulai terbang menuju alam mimpi, kemudian menyusulnya sebelum pagi menyambut dengan kesibukan.

Hari kedua perjalanan, matahari mulai menampakkan dirinya disela-sela awan. Namun, semburat cahaya kuning yang merambat ke tubuh tetap tak mampu menghangatkan hawa dingin di pagi hari ini. Suara derap langkah kaki mulai terdengar, rombongan pria berbadan kekar berdandan layaknya rumput tengah berbaris bersiap turun dari mobil yang telah membawa mereka menuju salah satu desa di kabupaten Blitar.

Berada dipelosok membuat desa ini sangat cocok digunakan untuk tempat persembunyian di keadaan bangsa yang masih genting ini. Banyaknya rumput belukar juga membuat desa ini sulit untuk diakses hingga hanya sedikit rumah yang ada disana. Desa Wonorejo, itulah namanya. Tempat persembunyian para petinggi PKI di Jawa Timur.

Terdengar suara burung yang berkicauan dan derasnya air sungai yang menenangkan menandakan mereka telah sampai di tempat yang mereka tuju. Tim Banteng Hitam dengan arahan dari Pierre mulai mendirikan tenda dengan cepat, siap, dan sigap di hutan dekat sungai. Setengah jam berlalu, merekapun istirahat di dalam tenda.

"Setelah perjalanan panjang akhirnya sampai juga. Tubuhku rasanya sakit semua karena tidur dimobil lama. Aku tidur dulu boleh, kan?" keluh Bima dengan sekujur keringat ditubuhnya.

"Bersih-bersih dulu, kau bau."

Bima lantas melotot dan segera mencium ketiaknya.

"Hehe, bau dikit gak ngaruh. Ini tuh keringat pejuang," ucap Bima acuh kemudian merebahkan diri ditenda dengan ransel yang ia gunakan sebagai bantal.

"MASIH ADA WAKTU 5 JAM, GUNAKAN WAKTU ISTIRAHAT SEBAIK-BAIKNYA. NANTI JAM 12 SIANG KITA MULAI MELAKSANAKAN TUGAS KITA," teriak Pierre dengan lantang dan tegas.

"SIAP, KAPTEN!" sahut semua tim Banteng Hitam dengan suara yang tak kalah tegas dari sang kapten. Dengan segera mereka bubar melakukan tugasnya masing-masing. Ada yang bergantian membersihkan diri, mengecek senjata dan kebutuhan untuk nanti, menyiapkan makan siang dan lain-lain, kemudian memasuki tenda dan mengistirahatkan diri.

Arya PierreWhere stories live. Discover now