Prolog

127 6 26
                                    

Langit itu biru dan awan itu putih, begitulah hal yang kujabarkan ketika menatap langit cerah nan berawan. Aku perhatikan di sekeliling sebuah hamparan lahan padi yang luas yang bisa disebut juga dengan pematang sawah.

Sawah yang cukup luas dengan angin sepoi-sepoi yang menyejukkan juga pak tani yang sedang menggarap sawah. Aku tersenyum tipis seakan berpikiran kehadiranku mengganggu pak tani yang sedang bekerja di ladang. Yyaahh walaupun mereka tidak menatapku.

Kulangkahkan kaki sedikit demi sedikit sembari menikmati alam ini. Namun, langkah kaki ini terhenti di sebuah aliran sungai yang panjang dari utara ke selatan dan lebar kurang lebih 5 meter. Alirannya cukup deras tetapi tidak terlalu dalam untuk seukuran anak SD.

Aku terpana sejenak di atas jembatan kecil yang menghubungkan kedua tepian sungai. Jembatan memang sengaja dibuat untuk bisa dilalui oleh pak tani yang ingin menyebrang sungai. Sepertinya suasana hatiku kali ini dirusak oleh kehadiran benda asing berwarna kuning memanjang yang tengah mengambang dan hanyut mengikuti aliran sungai.

Aku tidak ingin memperhatikan hal itu tetapi melihat bayanganku yang ada di permukaan air. Nampak wajah lelaki tampan tetapi dengan wajah yang cukup murung.

"Wajahku tampan, tetapi kenapa wajah tampan ini tidak sanggup menatap wanita."

Aku terus memperhatikan bayangan di atas permukaan air, menatapnya dengan wajah bingung seakan berpikiran tidak ingin melakukan apapun hari ini.

"Apakah karena aku terlalu sibuk menggeluti hobiku kini ?"

Wajah yang semula murung kini sedikit tersenyum seakan teringat hal yang membuat senang.

"Hoyy Den ! Ngapain kau di sini?"

Seseorang mengejutkanku dari belakang atau mungkin samping kiriku, badannya kurus berpostur sedikit bungkuk dan tinggi yang sama denganku. yang jelas dia benar-benar sukses membuat lelaki tampan ini terkejut dan kembali bermuka masam. Begitulah expresi yang muncul ketika melihat bayanganku di permukaan air.

"Kau rupanya Slamet ! Dari mana kau tau aku ada di sini?" ujarku penasaran.

"Kau begok atau gimana? Emangnya jembatan ini punya emakmu? Lagian kau sedang mikirin apa di sini. Hmmm coba kutebak , Gina, Rumyan, Novi, Dinda, Jihan, Any, Hana, Erna.."

"Erna udah mati coyy." Ujarku.

"AAhhh maaf lupa, Siti , Aminah, Jusya.."

"Udah cukup ! mau sampai kapan kau menyebut nama cewek itu dan lagi apa kau mau menyebut semua nama cewek komplek sini?" ujarku . "Jusya itu bukan warga komplek."

"Situkan banyak naksir cewek tapi sayang beribu sayang. Dirimu malu buat ngungkapin perasaan." Ujar Slamet sembari tertawa.

"Jusya –itu- udah kujadikan pacar koq." Ujarku dengan kata-kata gugup yang nampak di mulutku.

"Mana buktinya ? situ gak pernah malam mingguan kan?" ujar slamet

Aku tidak dapat berkata apapun lagi. Sepertinya ledekan itu akan menjadi menu makan siangku di jembatan ini. Ingin rasanya aku melompat dari jembatan namun airnya tidak begitu dalam.

"Tenang aja coy, kau cuma butuh keberanian aja di dalam hatimu." Ujar Slamet sembari menipuk-nipuk bahuku. "pakaianmu ini tidak kau ganti?"

"Enggak karena aku masih suka." Jawabku dengan santai sembari memperlihatkan bulu kelekku.

"Busyett keterlaluan ini mah, udah 2 minggu loh ? pantes aja semua cewek ogah deketin kau." Ujar slamet yang terus meledekku dan menutup lubang hidungnya dengan tangan kiri. "kaos merah ini sepertinya pemberian cewek ya?"

"EHH enggak, aku cuma senang dengan tulisan di kaosnya ." Jawabku sembari memegang lengannya dan hendak menjatuhkannya dari jembatan. "Kau cerewet sekali met."

"Hoyy sabar den, aku hanya becanda saja."

Dua sepasang bukan sejoli tengah hanyut dalam perbincangan dan candaan di jembatan di bawah terik sinar matahari yang lumayan panas. Namun sepertinya itu tidak berpengaruh terhadap pasangan bukan sejoli ini. Para pejalan kaki yang melewati mereka hanya tersenyum melihat pasangan yang mempunyai kesamaan kelamin saling bersenda gurau di jembatan.

"Hidden, kau tak malu dengan kaosmu itu?" ujar Slamet sembari terus memperhatikan kaos yang kukenakan.

"Emang ada apa dengan kaosku?" ujarku sembari berpura-pura heran dengan wajah nan polos dan lugu yang berusaha kuperlihatkan kepada teman bercandaku.

"Kaos udah 2 minggu tidak diganti dan tau tidak betapa membosankannya tulisan di kaosmu." Ujar Slamet seraya penuh ledekan.

"hhaahh Cuma itu? Biasalah karena-"

PLAGIAT...PLAGIATT

Muncul anak-anak yang entah datang darimana dan membuatku menoleh dengan perasaan geram bercampur emosi di otakku. "Aku benci anak-anak."

"HEEYY anak kampret, manggilnya salah. " ujar slamet. "Harusnya orang gila."

"Tapi tulisan di kaosnya dan tattoo di lengan kanannya bertuliskan PLAGIAT."

BBBYYYYURRR

Aku menjatuhkan teman sejoliku di air. Tetapi sayang dia tidak hanyut terbawa aliran sungai.

BYYUURR BYYUUURRR.

Tiga orang anak kecil turut aku jatuhkan ke sungai dengan gerakan yang cepat dan gesit. Aku bersyukur berlatih karate di sekolah.

"Kejam amat kau hidden. Anak kecil kau celupkan juga?" Ujar slamet sembari menunjuk anak kecil yang terus menangis.

"Aku seorang plagiat yang lain dari pada yang lain, jangan lupakan itu."

Aku memperlihatkan tattoku lalu melangkahkan kaki menjauhi dari lokasi kejadian. Aku khawatir anak-anak kecil itu akan melapor ke kedua orang tuanya.

***

03.00 PM GANG

Menyusuri gang-gang sempit dan terlihat bahwa aku sudah sangat jauh dari pematang sawah. Hari yang sudah menjelang sore. Tak kusangka perbincanganku dengan slamet menjadi perbincangan yang cukup lama. Aku menarik nafas dan masih memikirkan langkah yang kuambil untuk menarik perhatiannya.

Perhatianku tiba-tiba tertuju ke satu arah dan aku ngumpet di tiang listrik. "Itu dia."

Sesosok gadis berambut panjang hitam yang lebat telah menarik mata bagi yang memandangnya. Senyumnya dan peluh keringatnya yang mungkin tak akan kulupakan. Hati ini memang berdegup kencang ketika melihatnya sedang menjemur pakaian dan hatiku kembali normal ketika dia memasuki rumahnya.

"mungkin suatu saat nanti aku akan ungkapkan, yaahhh suatu saat nanti."

Plagiat (Man)Where stories live. Discover now