BAB I : Saudari yang Terkutuk

10 0 0
                                    


Murka sang batari membara

Penenun malang tak berdaya

Dari untaiannya menyala api

Jemari mereka terbakar hangus


Malam demi malam, Kalinda dirundung mimpi buruk. Suara bacaan ayat-ayat terkutuk itu menghantuinya terus menerus. 'Kesalahan apa yang telah ku lakukan hingga pantas mendapatkan ini semua' begitu pikirnya. Mata sayunya terbuka perlahan disambut fajar yang menyingsing dari timur. Tubuhnya terkulai lemas, sudah tiga bulan ia dilanda mimpi buruk siang dan malam. Seolah tak ada waktu aman baginya untuk memejamkan matanya meski hanya sejenak. Tubuhnya bahkan mengecil semenjak awal ia mendapatkan kutukan dari Sang Batari. Tak ada selera baginya untuk makan atau minum.

Meski begitu tenunan apinya hampir jadi. Dua minggu lagi akan ia kenakan untuk upacara seserahan Sang Batari. Sosok yang beruntun hadir di setiap mimpi buruknya dengan ayat-ayat mengerikan yang dilantunkannya. Kalinda belum bisa beranjak dari ranjangnya dengan benar, oleh karena itu beberapa penenun lain memasuki biliknya untuk membantunya bangkit untuk beranjak melanjutkan tenunan apinya. Sungguh luar biasa dampak dari kutukan mimpi buruk ini. Mata sayu dan bibir pucatnya lantas terbuka lebar, menyambut kedamaian sejenak sebelum akhirnya ia kembali terlelap dan dihantui mimpi buruk yang sama, karena pada akhirnya semua yang bangun akan kembali terlelap. Suap demi suap sarapan yang ia telan sedikit banyak membuat kepucatan wajahnya berngsur-angsur pulih. Lantas kalinda pun bergeser ke alat tenunnya untuk menyelesaikan tenunan apinya yang hampir jadi.

Kalinda memandang untaiannya dengan mata sayu. Tubuhnya yang lemas terus bergerak, mengatur jalinan setiap benang dengan penuh ketelitian. Setiap gerakan jarinya seperti tarian yang mengikuti irama. Apa pun yang dialaminya, Kalinda tidak akan membiarkan pikirannya saat menenun terganggu. Meski hukuman Sang Batari menerpa, penenun-penenun lain yang setia tetap membantunya menyelesaikan kain itu. Mereka tahu betapa pentingnya upacara seserahan yang akan datang, dan bahwa tak ada ruang untuk kesalahan. Seiring waktu berjalan, tenunan itu semakin memperlihatkan keindahannya. Pada warna-warna yang menyala, Kalinda merasakan kekuatan dalam setiap benang yang ia untai. Mungkin, melalui karyanya ini, ia bisa menemukan belas kasihan Sang Batari atas kutukan yang ia pikul. Pada suatu pagi, setelah malam yang begitu gelap dan penuh mimpi buruk, Kalinda melangkah keluar dari biliknya dengan langkah yang lunglai. Tenunan nya selesai, nyala warna tenunannya memberikannya sedikit ketenangan, berharap Sang Batari mengangkat kutukan atas dirinya. Entahlah, mungkin itu hanya buah dari pikirannya yang telah kacau setelah dirundung mimpi-mimpi buruk nya selama ini.

"Kakak sudah sarapan?" Utari menghampiri Kalinda yang tengah berdiri termenung di hadapan kain tenun nya yang telah selesai. "Mau ku ambilkan teh hangat?"

"Sudah kok tadi kakak sarapan sendiri." Kalinda menoleh "Mungkin kamu bisa bantu mencuci pakaian kotor di kali bersama Rini"


                                                                                            ...


Utari mengangguk dan segera mengambil pakaian kotor di rumah untuk dibawanya ke kali bersama teman baiknya Rini atau sering dikenal sebagai Apsarini. Utari dan Apsarini pun beranjak pergi membawa sekeranjang pakaian kotor ke tepi kali yang dangkal. Suara gemericik air yang jernih dan dedaunan yang berdesir bersama angin membuat suasana begitu damai. Mereka memilih tempat yang umum di pakai penduduk desa sebagai tempat mencuci pakaian. Mereka menyebarkan pakaian di atas batu-batu yang rata di tepi kali.

Utari tersenyum kepada Apsarini, "Hari ini kita hanya berdua, tapi setidaknya kita bisa memiliki waktu yang tenang untuk mencuci pakaian tanpa gangguan."

Apsarini setuju sambil menganggukkan kepala, "Betul, kadang-kadang kegiatan sederhana seperti ini bisa menjadi penyegar pikiran."

"Aaah!! Jangan menyipratiku seperti itu!" Tiba-tiba terdengar jeritan melengking seorang gadis disertai gelak tawa kedua temannya "Leiii!!!! Hentikan itu!"

"Apa-apaan sih! Berisik sekali mereka" Utari yang mengenali suara para gadis itu lantas melontarkan kalimat risih nya "Pasti Lei, Kira, dan Kala.. Tuh kan sudah kuduga!" intip mereka disela-sela semak-semak.

"Mereka sepertinya juga sedang mencuci pakaian sambil bercanda" Apsarini lalu menarik lengan Utari untuk kembali mencuci pakaian mereka di tempat tadi. "Sudahlah tidak perlu mengurus gadis-gadis genit seperti mereka, hahaha... lebih baik kau dengar cerita lucu ku"

"Tidak terima kasih!" Tolak Utari dengan spontan

Di saat mereka kembali asik mencuci pakaian berdua, hadirlah tiga gadis tadi yang telah selesai mencuci berdiri menonton mereka dari balik badan. Mereka bertiga pun terkekeh melihat Utari dengan lelahnya mencuci pakaian kotor yang menumpuk di keranjangnya dibantu oleh Apsarini yang telah usai sejak tadi. Lei, Kira, dan Kala saling menatap satu sama lain dan menganggukkan kepala sambil menahan senyuman licik mereka. Utari yang merasakan kehadiran yang tak diinginkan pun menoleh perlahan. Tepat ketika ia menoleh penuh kebelakang, mereka bertiga menendang air sungai hingga membasahi tubuh Utari. Dengan kecentilan mereka tertawa terbahak-bahak. Lei pun kembali melemparkan segenggam air ke wajah Utari yang sudah merah padam itu. Dahi Utari mengerut dan bibirnya merengut, ia diam tak bergeming, berusaha menahan emosinya yang akan meluap itu.

"Ahahaha!! Rasakan itu gadis terkutuk!" Lei mengejek, utari menatapnya tajam dan berbicara dengan nada rendah "Aku tidak dikutuk"

"Mustahil satu saudari yang malang dikutuk namun tidak dengan lainnya" Kira menimpali sambil terkekeh "Sungguh kasihan..."

"Kurang ajar kalian bajingan!!!" Utari akhirnya menimpuk kepala Kira dengan keranjang kosongnya lalu menerkam Lei dan menahannya di dalam air. Kala diam menonton kedua temannya diserang seperti tanpa rasa bersalah atau rasa keterlibatan sedikitpun.

"Utari cukup!" Apsarini dengan sigap menghentikan amukan Utari pada mereka bertiga "Kita beberes sekarang! Ayolah Utari!" Kerah Utari ditarik oleh Apsarini melepaskannya dari Lei.

Utari, dengan wajah yang merah padam, membiarkan dirinya ditarik keluar dari air oleh Apsarini. Meskipun masih sangat kesal, dia mengalihkan pandangannya untuk menghindari konfrontasi lebih lanjut. Lei, Kira, dan Kala tertawa dengan puas, merasa senang dengan ulah mereka yang berhasil memancing reaksi dari Utari. Apsarini menuntun Utari menjauh dari ketiga gadis nakal itu, mencoba menenangkan temannya yang kesal. "Biarkan saja, Utari. Mereka hanya mencari sensasi. Kita sebaiknya fokus pada kebahagiaan kita saja. Omong-omong, kau mau mendengar cerita lucu yang tadi mau kusampaikan?"

"Tidak, Terima kasih Apsarini!" Dengan suntuk Utari melangkah lebih cepat mendahului Apsarini. Ia masih tidak terima kakaknya dijadikan bahan bercandaan seperti itu oleh tiga orang menyebalkan tadi. "Aku hanya punya Kak Kalinda di dunia ini, meskipun ia sedang dikutuk namun apabila ia tiada maka aku punya siapa? Maka dari itu akan kubuat ia tersenyum lagi meskipun itu sulit"

"Kau adik yang baik Utari, menurutku kalian tumbuh dewasa dengan cepat sejak kepergian kedua orangtua kalian, aku sungguh kagum dengan kalian berdua." Utari menoleh tipis ke arah Apsarini lalu kembali membuang muka

"Hei aku jujur. Begini saja aku tidak akur dengan kedua saudara laki-lakiku, kupikir ada baiknya belajar menyayangi saudara ku seperti kamu dan Kalinda, selagi keluarga ku masih utuh juga."

"Kau tahu Rini? Aku membenci Batari atas kutukannya pada kakakku yang tak bersalah. Jika ada cara dan kekuatan maka akan kupadamkan Batari Api sialan itu!"

"Hus! Hati-hati atas ucapanmu di desa ini. Bukannya apa, jangan sampai tetua desa dan kaki tangan mereka mengusir kalian dari sini gara-gara mendengar ucapanmu tadi!"

Kekesalan Utari berangsur-angsur reda seiring perjalanan mereka pulang ke rumah Utari. Apsarini pun pamit kepada Utari untuk pulang ke rumahnya yang selisih satu gang saja. Utari pun meletakkan keranjang cucian pada teras rumah sembari masuk melewati pintu depan rumah.

"Kakak, aku pulang!"

Kalinda dan Tenunan ApiOnde as histórias ganham vida. Descobre agora