34. Sabiru

385 56 6
                                    

Sebenarnya, sejak awal Sydney tak pernah mendapatkan hari-hari bahagia. Kehidupannya selalu suram dan penuh kesialan, terlebih ketika dia mengenal manusia seperti Austin dan Skylar. Suasana kelas hening total, seluruh siswa-siswi sibuk mengerjakan ujian.

Setelah mempelajari berbagai materi, mereka menghadapi ujian akhir semester satu. Tiap siswa-siswi duduk dengan adik atau kakak kelas, diacak dan ditempatkan pada ruangan berbeda-beda. Namun, diacak seperti apa pun, Sydney tetap berada satu ruangan dengan Skylar.

Gadis berambut agak kecokelatan itu duduk tepat di depan Sydney. Pundaknya terlihat luruh, berkali-kali dia menggaruk kepala. Kendati masuk dalam kategori siswi pintar, menerima pelajaran ini, dia juga sering kebingungan. Tak jarang, dia mendengkus, lalu menyandarkan kepala di meja, merasa frustrasi bertemu deretan soal Matematika.

Akan tetapi, dalam keadaan seperti ini, Sydney tentu tidak bisa membantu. Dia langsung menutup kertas jawabannya setelah mengerjakan seluruh soal, menopang dagu sambil memandang ke luar jendela dengan tatapan datar. Langit hari ini tampak sedikit mendung, seperti hendak menjatuhkan bebannya sekaligus.

“Kak, maaf, boleh minta tolong?”

Sydney menoleh, menatap adik kelas yang duduk sebangku dengannya. Laki-laki setinggi Sydney itu membenarkan letak kacamata kotaknya, menyodorkan soal pada Sydney dengan sopan. “Aku lupa rumus yang ini. Kakak tau? Aku tinggal satu ini aja.”

“Titik potong, ya?” Sydney meraih lembar soal, mencari-cari sesuatu pada pertanyaan pilihan ganda. Jarinya seketika menunjuk soal nomor sembilan. “Kayak ini. Jika X sama dengan 0, lo tinggal hitung aja. Gampang, kan?”

“Iya, gampang banget. Makasih banyak, Kak.” Laki-laki itu langsung menarik kembali lembar soal miliknya. “Kak Sydney pinter banget.”

Sydney memilih tak menjawab ataupun merespons, menopang dagu sambil memandang lurus pada pengawas. Matematika adalah pelajaran terakhir untuk hari ini. Dia bisa pulang, melihat drama baru di keluarga cemara yang ayahnya bina.

Roberto baru pulang dua hari lalu, memberi semangat untuk anak-anaknya yang hendak mengikuti ujian akhir semester. Benar-benar sosok ayah penyayang, tetapi hati Sydney sudah benci bukan kepalang. Pulang dari sini, dia sudah memiliki janji dengan Mike, membuatnya memutuskan tidak membawa kendaraan sendiri ke sekolah. Masa bodoh soal izin Roberto, dia tidak memerlukan itu.

Ketenangan Sydney diganggu oleh Skylar yang tampak makin frustrasi, berusaha mengingat hafalan semalam. Dia memperhatikan deretan soal, makin merasa pusing dan mulai mual.

“Sin tiga puluh derajat itu satu per dua,” kata Sydney pelan. Tentu, mampu mengalihkan perhatian Skylar. Gadis yang sejak tadi kesal itu mulai merasa lebih segar, seketika menoleh pada Sydney dengan pandangan berbinar. Jika tidak ingat sedang diawasi, dia pasti sudah melompat ribut memeluk Sydney.

Alhasil, Skylar hanya melakukan kecup jauh dengan cepat sambil berbisik, “Thank you very much, my dear friend. I love you, Sydney.”

Ungkapan itu jelas membuat Sydney bergidik jijik. Dia langsung kembali memalingkan pandangan selagi otaknya terus menyusun rencana pembalasan untuk keluarga baru sang ayah.

Menit demi menit yang berlalu terasa membosankan, sampai Sydney bernapas lega ketika bel berdering pertanda pelajaran usai. Saat buru-buru pergi, Sydney terpaksa harus mendengkus ketika tangannya ditarik seseorang.

“Sydney, makasih banyak! Berkat lo, gue bisa kerjakan soal trigonometri. Kalau nggak ada lo, gue nggak tau harus apa.”

“Mm,” sahut Sydney, melepas pegangan Skylar di tangannya, lalu melanjutkan langkah. Alih-alih tersinggung, Skylar justru mengekor, seakan penolakan Sydney barusan bukan masalah besar.

SydneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang