Pelukan Terakhir | 00.03

270 40 16
                                    

"Nyatanya tidak semua harapan terwujud dengan baik, kau tahu betul, Harsa"

°°°
Katanya, setiap orang memiliki kebahagiaan nya masing-masing. Namun rasanya Harsa tidak memilikinya. Dan sekarang masih menunggu akan akhir dari kata bahagia

Harsa menghela nafasnya berat, kemarin ia memutuskan untuk pulang saja dari pada harus berdiam diri di rumah sakit.

Toh, tidak ada satupun orang yang peduli padanya. Jikapun ia mati, ia akan langsung dikuburkan? Sekali lagi, tidak ada yang peduli padanya

Harsa menyunggingkan senyum manisnya, bisikan para siswa tentang dirinya sudah menjadi santapan pagi buat Harsa

"Eh gue denger-denger, anak kelas sebelas yang tuli itu jadi sasaran jeano ya?"

"Iya, lagian lemah banget. Cupu sama cacat gitu kok di sekolahin disini"

"Huss...lo nggak boleh gitu. Tapi bener sih dia cacat haha"

Suara gelak tawa terdengar menusuk ke gendang telinga harsa.

Memangnya tuli itu cacat ya?

Jika Harsa bisa meminta, ia tak mau dilahirkan menjadi tuli. Tapi balik lagi, memang nya harsa Tuhan? dia tidak ada hak untuk meminta di lahirkan sempurna, semua yang terlahir ke duni ini sudah menjadi ketentuan Tuhan kan

Harsa menggeleng kecil, melanjutkan langkahnya menuju kelasnya. Langkahnya kembali terhenti saat melihat Abangnya sendiri mengantarkan sahabatnya

Harsa tersenyum pahit, kapan ia akan di antar oleh Dion, diperlakukan dengan lembut, di berikan kasih sayang lebih. Harsa juga mau Dion memperlakukannya seperti Dion memperlakukan Rey—

Harsa menepuk pipinya dengan keras "Ah, harsa. Kamu mikir apa sih, nggak boleh iri. Reyhan itu sahabat kamu"

"Heh, ndut. Ngapain lo?" Naresh merangkul bahu Harsa dari belakang

"Ndut, ndut. Kamu sembarangan banget namain orang"

Naresh tertawa "elah baperan lu cil. Btw udah sembuh total?"

Harsa mengangguk sekilas "syukurnya nggak parah sih" ujarnya sedikit berbohong

"Bagus kalau gitu" netra Naresh menatap Reyhan yang tersenyum pada Dion "dilihat-lihat jadi Reyhan enak ya sa, punya Abang dokter yang perhatian gitu"

Lidah Harsa terasah kering, tersenyum sendu menanggapi omongan Naresh "iya, aku juga mau punya abang kayak Abang nya Reyhan"

°
°
°

Dibawah kanvas yang melukis senja yang kini telah menggelap, ia masih berjalan dengan senandung kecil yang keluar dari bilah bibir nya

"Harsa"

Harsa memutar badannya saat merasa familiar dengan suara yang memanggil namanya tadi.

"A-abang"

Dion melemparkan tatapan dinginnya "jangan pulang kerumah"

"A-apa bang?"

"Jangan pulang kerumah" tegasnya

Harsa paham sekarang, mungkin teman-teman Dion akan berkunjung kerumah. Mungkin juga Dion hanya tidak mau jika teman-temannya mengetahui kalau Dion memiliki adik tuli seperti Harsa

Harsa mengangguk kaku "o-oh iya, kalau gitu Harsa duluan ya bang"

"Nanti abang jemput. Kamu tunggu aja di halte bus depan sana"

Harsa mengerjap, apa? Dion mau menjemputnya? Harsa tidak sedang bermimpi kan. Harsa mengangguk, berbalik dengan cepat meninggalkan Dion yang menatap punggung harsa yang begetar hebat

"Maaf, sampai sekarang gue belum bisa
sayang sama lo lagi" gumam Dion

°°°

Menit ke menit, jam ke jam. Terhitung sudah 3 jam Harsa berdiam diri di halte, menunggu kedatangan Dion yang katanya ingin menjemputnya

Harsa gelisah, pasalnya langit sudah mulai menggelap, dan belum ada tanda-tanda kemunculan mobil Dion.

"Apa mungkin abang lupa ya?"

Ting

Dering ponselnya membuat Harsa terkejut dan buru-buru mengecek nya. Dan ternyata itu pesandafi sahabatnya.

Reyhan

| Harsa
| Kamu dimana? Kok belum pulang?
| Kata bang Dion kamu pergi bareng Naresh
| Sayang banget kamu nggak ada, padahal aku sama bang Dion mau pergi ke pasar malam

Harsa tersenyum kecut membaca pesan Reyhan, ah jadi ini alasannya dion telat menjemputnya. Harsa merasakan nyeri di hatinya, padahal sudah biasa. Tapi tetap saja Harsa merasa sakit

Hujan mengguyur kota, Harsa melepaskan alat bantu dengar nya. Membiarkan air hujan membasahinya, melepaskan beban yang selama ini datang bertubi-tubi. Membiarkan keheningan membawanya jatuh ke lubang kekosongan yang paling dalam.

Disaat seperti ini, Harsa berharap Dion datang memeluknya.

°°°

Harsa menggigil hebat, suhu tubuhnya dingin seperti mayat hidup. Tangannya dengan gemetar meraih gagang pintu.

"Darimana kamu"

Harsa memejamkan matanya, Dion pasti akan memarahinya lagi

"Udah malam begini kamu baru ingat pulang. Mau jadi apa kamu?"

"Maaf bang" cicitnya pelan

Dion menghela nafas kasar, menarik Harsa kedalam kamar mandi dan mengguyurnya dengan air.

"Kamu abang hukum, jangan berani minta keluar sampai abang suruh"

Harsa mengangguk patuh, Dion keluar dari sana dengan mengunci harsa dan shower yang masih menyala membasahi tubuh harsa

Harsa tersenyum sendu "abang nggak jahat" gumamnya "kamu sih harsa, pulang telat. Jadinya kan di hukum Abang" katanya dengan air mata yang tak berhenti turun.


- Medan 24 November 2023


°°°

Haii...
Boleh kasih bintang nya kan, nah setelah itu kalian bisa kasih kesan kalian tentang chapter ini, Kritik dan saran untuk kelanjutan cerita ini kedepannya gimana.

Makasih yg udh kasih bintang, sehat selalu buat kalian 💚

Pelukan Terakhir | Haechan DoyoungWhere stories live. Discover now