3 ; Eerste schooldag.

11 1 0
                                    

Satu bulan berlalu, mereka sudah jarang bertemu dan hari ini adalah hari dimana keduanya mulai memiliki kesibukan masing-masing. Walaupun jam pulang mereka tidak selisih begitu lama, tapi sepertinya mereka mulai dilanda kesibukan, Maden dengan les matematika dan bahasa Inggrisnya, dan Ellen dengan les biolanya.

Ya, Ellen memilih untuk berlatih biola sedari lima tahun dan akan fokus untuk tetap bermain biola sampai ia dewasa nanti karena ayahnya yang sangat menyukai suara biola setiap kali datang ke orkestra dulu. Sedangkan Maden yang tidak bisa berbahasa Inggris harus mengambil kelas tambahan di sekolah kursus bahasa Inggris dan juga fokus ke matematika karena ibunya yang mengatur pendidikan Maden untuk mengarah ke perbisnisan.

Hari ini juga hari pertama dimana Ellen memulai pendidikan pertamanya. Dengan gaun selutut berwarna coklat yang diberi renda putih di lengan dan dada bagian kerah. Rambut pirangnya di cepol dua, kaus kakinya putih, sepatu flatshoes hitam dan tas kulit berwarna coklat membuatnya mencolok sebagai minoritas diantara anak-anak lokal lainnya saat itu.

TK Braga Bandung menjadi tempatnya menempuh ilmu. Ellen masuk ke dalam ruangan dengan dinding berwarna biru muda yang penuh origami dan gambar-gambar karakter kartun lucu yang selama ini ia tonton di TV. Ellen duduk diantara anak-anak lain. Kursi tunggal membentuk lingkaran untuk perkenalan hari pertama sekolah, mereka menatap wajah-wajah polos anak-anak seusia Ellen dengan penuh seksama tanda menebak-nebak siapa yang akan menjadi temannya.

"Halo. Saya ibu guru kalian, nama saya Ibu Marini, panggil aja Bu Rini ya?"

Murid-murid tampak ceria dengan wajah penuh senyum. Seluruh ruangan diselimuti rasa gembira dengan kehadiran guru seramah Marini yang berhasil membuat anak-anak didiknya menjawab sapaan dengan penuh senyum.

"Halo Bu Rini!" Ucap para murid dengan kompak.

"Sekarang, Bu Rini mau kita kenalan ya? dari kiri dulu ayo aa ganteng yang pakai baju biru siapa namanya?"

"Nami abdi Adam, Bu Rini."

"Nami abdi teh, Gendhis."

"Dadang, Bu."

"Nami abdi Riani, Bu."

"Nama saya Ellena."

Seketika semua mata para murid tertuju pada Ellen setelah mendengar suaranya yang asing dan sangat unik menurut anak-anak lain, selain itu karena Ellen juga menjawab dengan bahasa Indonesia dan namanya terdengar sangat asing. Wajahnya juga sangat berbeda diantara anak yang lain. Ellen menoleh ke sekelilingnya dengan bingung, mengapa anak-anak lain menatapnya dengan tatapan aneh.

"Bu Rini, naha buuk Ellena koneng? buuk urang hideung, Bu." Tanya salah satu murid laki-laki bernama Adam yang bertanya 'mengapa rambut Ellena berwarna kuning? sedangkan di ruangan itu semuanya berambut hitam'

"Panonna semu coklat, Bu."
(= Matanya warna coklat, Bu.)

"Kulitna bodas oge."
(= Kulitnya putih juga.)

Ellena tampak semakin bingung karena dia tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan, ditambah lagi ia masih menjadi pusat perhatian karena semua mata masih tertuju padanya. Ellen menoleh kanan dan kiri, mencoba mencerna apa yang diucap oleh teman-temannya. Matanya berbinar, Ellen pikir ia diejek karena perbedaan yang sangat mencolok.

"Ibu, Ellena tidak mengerti.." Ucapnya dengan raut kebingungan. Matanya semakin berair, hampir menangis.

Seorang guru berseragan dinas hijau tua itu mendekati kursi Ellen, dengan hati-hati ia berbicara dengan bahasa Indonesia berharap Ellena mengerti.

"Ellena, mereka tidak mengejekmu."

Gadis kecil itu menatap mata sang guru dengan ragu, kedua tangannya digenggam erat olehnya. Jantung Ellen berdetak kencang, ini baru pertama kalinya tangan kecil miliknya digenggam oleh orang lain selain ibunya sendiri.

"Jangan khawatir, saya orang tuamu di sekolah. Ellen punya dua ibu sekarang, di rumah dan di sekolah."

Mata coklat Ellen menoleh ke arah jendela, mencari-cari ibunya yang terlihat dari jauh sedang tersenyum sambil mengacungkan ibu jari. Lalu matanya kembali menatap Bu Rini, mengangguk pelan dengan percaya penuh.

"Anak-anak, Ellena berbeda dengan kita karena punya kulit putih dan rambut pirang, bukan berarti kalian tidak boleh berteman dengannya. Ellena bukan dari negara kita, dia jauh dari Belanda datang kesini untuk sekolah. Iya kan, Ellena?"

Yang dipanggil hanya manggut-manggut padahal sebenarnya tidak terlalu mengerti, tapi ia percaya pasti gurunya berbicara hal baik. Tidak mungkin seorang guru menghianatinya, itulah yang ada di kepala anak perempuan Belanda berusia lima tahun yang belum terlalu lancar bahasa Indonesia.

"Baik, kita lanjut perkenalan kita ya. Ayo abis Ellena teh saha lagi?"

"Bu Rini, Dadang pipis di calana!"

Ellena menoleh ke kiri, seorang anak laki-laki seumurannya yang memakai baju kuning cerah dan celana oranye selutut sedang menatap sang guru kebingungan karena celananya yang sudah basah.

"Ih Dadang mah meuni jorok" Ucap salah satu murid perempuan yang duduk disebelah Ellen.

Ellen diam saja memperhatikan Bu Rini yang sibuk sendiri mengelap kursi Dadang yang basah dan menuntun Dadang sampai depan pintu dan melapor ke ibu Dadang.

Bu Rini kembali ke dalam lingkaran kursi tunggal para murid, tetap tersenyum pada mereka dan menyuruhnya untuk berdiam sejenak dengan isyarat jari telunjuk didepan mulutnya karena mereka mulai sedikit berisik karena meledeki Dadang yang tidak bisa izin ke kamar mandi sendiri.

"Sstt, ibu teh mau ngomong boleh ya?" Katanya memberi peringatan pada seluruh murid untuk tenang sejenak.

"Untuk murid ibu yang kasep nan geulis, kalau pengin buang air teh lapor ke ibu ya? yang mau pipis, yang mau pup, bilang ke ibu 'Bu, saya mau ke kamar mandi.' kitu, nya?" Lanjutnya dengan nada yang sangat lembut agar anak-anak mendengarnya dengan seksama.

"Iya Bu!" Jawab mereka dengan kompak lagi.

"Baik, kita lanjut lagi kenalannya ayo!"

Ditengah perkenalan yang berlangsung, beberapa murid perempuan tepat duduk didepannya menatap Ellena tidak suka. Matanya menatap dari atas sampai bawah, Ellen pikir mereka masih menganggap ia aneh karena semua yang ia kenakan berbeda dari yang lain.

Namun Ellen itu tidak acuh, ia tetap memperhatikan dan mendengarkan gurunya berbicara menggunakan bahasa Indonesia walaupun dengan logat Sunda. Padahal Ellen tidak mengerti sepenuhnya, tapi ia berusaha untuk memahami kata-kata yang sering ia dengar.

"Seandainya Maden ikut sekolah disini, aku pasti bisa mengerti Ibu Rini bicara apa." Gumamnya dalam hati.

Sampai jam menunjukkan jarum pendek diangka sembilan dan jarum panjang diangka enam, bell berbunyi dengan keras memenuhi ruangan. Semua murid mulai mengambil tas yang mereka simpan di meja. Ellena mengikutinya, mengambil tas yang hanya berisi dua buku kotak besar, dua buah pensil dan satu buah penghapus.

Ellena juga mengikuti teman-temannya yang mencium tangan Bu Rini sebelum akhirnya keluar dari ruang kelas. Ia menoleh kanan kiri, sosok wanita yang tadinya tersenyum duduk di bangku yang berhadapan dengan jendela kini entah kemana.

Ia menoleh lagi ke arah gerbang, barulah ia menemukan orang yang dicari. Gadis kecil itu berjalan santai menuju gerbang sekolah sambil meloncat-loncat riang, tak sabar menceritakan hari pertamanya bersekolah hari ini.

"Eh rambut kuning!"

Ellen menghentikan langkahnya dan  menoleh ke belakang, tiga anak lokal mendekat dengan tatapan tidak suka. Sepertinya Ellen akan memiliki musuh sekarang, pikirnya.

"Anjeun jalma nu mana? kumaha tah meuni bodas, buukna koneng, bajuna aneh!"
(= Kamu orang mana sih? kenapa kamu putih banget? rambutnya kuning, bajunya aneh!)
Ucap salah satu dari ketiga anak itu yang berdiri ditengah.

Ellen menatap mereka, melihat dari atas ke bawah. Mereka memakai baju sepotong yang mirip dengan kebaya dengan bawahan rok panjang batik khas motif Sunda.

"Jawab atuh!" Teriak salah satu anak lainnya.

Ellen terkejut, ini pertama kalinya Ellen mendengar bentakan. "A-aku mengerti kalian bicara apa, maaf aku harus pulang." Katanya dengan terbata-bata lalu berlari ke gerbang dengan perasaan takut.

"Mama!!"

ETERNAL LOVE : FRANCE & NETHERLAND [REVISI]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu