Bab 9 - Self Love

Mulai dari awal
                                    

lanjut lagi!

Aku merasakan gejolak liar yang menyerang tanpa aba-aba di dalam perutku. Aku lapar. Semakin banyak pertanyaan yang berkelebat di kepalaku, semakin besar pula tekanan yang kurasakan pada perutku. Kalau begini ceritanya, buyar sudah semua jadwal dan usahaku untuk menurunkan berat badan.

Ponsel dalam genggamanku tiba-tiba saja bergetar dan jantungku nyaris melompat ketika membaca nama penelepon yang tertera di layar.

"Adam?" Aku nyaris saja memekik menyebut namanya.

Dia itu manusia atau bukan? Kenapa setiap kali aku memikirkannya, tiba-tiba saja dia meneleponku? Dia punya telepati atau apa? Duh. Angkat, jangan, ya?

"Siapa yang telepon?" Suara Mbak Asma yang tiba-tiba muncul di telingaku membuatku terlonjak dan mengakibatkan ponsel dalam genggamanku terlempar ke lantai.

Aku gelagapan berusaha untuk segera meraih ponselku. Sialnya, Mbak Asma jauh lebih sigap dan mengambilnya terlebih dulu. Aku memejamkan mata dan merutuki kecerobohanku sendiri.

"Adam?" Mbak Asma menatapku tajam. Aku beringsut mundur dan seketika dibuat mati kutu. "Bukannya kamu sudah blokir nomernya?"

"Anu ... Itu, Adam—"

"Kamu masih komunikasi sama dia? Sejak kapan?"

"Eng-gak."

"Lah ini, dia kok malah telepon terus?"

"Emm-"

"Kamu mau angkat nggak? Atau Mbak saja yang angkat?" Wajah Mbak Asma mendadak berubah menjadi sangar.

Ya Tuhan. Kalau sampai Mbak Asma mengangkat telepon dari Adam, harapan untuk balikan yang sempat muncul pasti akan kembali tenggelam. Dan aku yakin kali ini bakalan untuk selamanya.

"Jangan! Enggak usah diangkat!" Secepat kilat aku merebut ponselku dari tangan Mbak Asma dan bergegas mematikannya.

Ah, ya. Ada satu cerita tentang Mbak Asma yang kulewatkan. Mbak Asma ini selain terbiasa menjadi pusat perhatian, dia juga terbiasa membanting orang. Iya. Mbak Asma berhasil menyandang gelar sabuk hitam karate dan sempat menjadi atlet sebelum memutuskan untuk menikah.

Bisa kalian bayangkan bagaimana kalau Mbak Asma sudah mengambil tindakan pada Adam? Tidak. Cukup aku saja yang terluka dan menjalani hari-hari yang berat. Mungkin aku kecewa dan patah hati pada Adam, tetapi aku juga enggak akan setega itu melihat tulang-tulang Adam dipatahin sama Mbak Asma.

"Khem!" deheman Mbak Asma berhasil menarik kesadaranku. Mbak Asma melipat kedua tangannya di dada seolah menunggu penjelasan dariku.

"T-Tuti enggak balikan kok sama Adam." Aku menggigit bibir bawahku dan mulai meremas ujung sweeter yang kupakai. Selalu begitu. Aku memiliki kebiasaan kecil meremas sesuatu saat panik.

"Mau balikan juga boleh," ucap Mbak Asma datar.

"Seriusan?" Aku terlonjak. Mataku membola. Senyumanku terkembang secara spontan.

"Nih!"

Mbak Asma mengepalkan tangannya tepat di depan wajahku. Aku terkesiap. Senyumku menguap. Nyaliku seketika menciut. Aku beringsut kikuk dan salah tingkah. Meski aku tahu Mbak Asma bersikap begini juga gara-gara aku.

Seratus hari yang lalu, setelah memutuskan Adam, aku memilih untuk mengurung diri di kamar selama seminggu. Tidak seorang pun yang berhasil membuatku bercerita. Baik itu Ibu, Bapak, bahkan Mbak Asma sendiri. Aku memilih bungkam, diam seribu bahasa dan menelan pil pahit yang sengaja kubuat sendiri.

Mengingat Adam yang sudah terlanjur dekat dengan Ayah dan Ibu, akhirnya aku memilih bercerita pada Mbak Asma dan memintanya untuk merahasiakan hal itu pada mereka. Saat mereka bertanya tentang Adam yang mulai jarang datang ke rumah, aku biasanya hanya memberikan alasan bahwa Adam sibuk dengan tugas akhir kuliahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang