Cup 3: Doppio

19 9 19
                                    

a double shot of espresso served in demitasse cup


ARGANI RAKAI MAHENDRA
Freelance consultant F&B.

Rara mengamati kartu nama biru langit yang baru disodorkan laki-laki bernama Arga itu dengan sikap anggun dan tanpa minat, seolah kartu nama itu tidak berarti apa-apa untuknya. Padahal apa yang dia rasakan dalam hati kontras dengan tampilan luarnya. Dia sama sekali tidak mengira si pengirim buket mawar ungu akan menampakkan diri secepat ini, dan itu membuatnya sangat penasaran! Namun, dia harus menjaga imagenya, bukan?

"Argani Rakai Mahendra." Rara mengulang tiga kata itu dengan anggun. "ARM. Oke, jadi Pak Arga yang mengirim buket-buket itu ke rumah saya?"

"Arga saja." Suara tenang laki-laki itu terdengar jelas di ruang kerja yang hanya diisi oleh mereka berdua. Erin sejak tadi sudah kabur entah ke mana setelah melemparkan serangkaian kedipan usil untuk Rara. "Cukup nama saja, tidak perlu pakai embel-embel lain." Laki-laki itu kembali mengulas senyum canggung yang malu-malu. Herannya, itu membuat dia terlihat... menarik....

Rara buru-buru berdeham untuk menetralkan pikirannya. Dia selalu lemah kalau melihat laki-laki yang memiliki alis mata rapi dan sorot mata hangat—iya, seperti sosok di hadapannya ini. Apalagi Arga ini memiliki postur yang termasuk ramping tanpa otot tubuh yang terlalu menonjol, dan terlihat cocok sekali dalam balutan kaus Polo putih dan jeans biru muda yang dia kenakan. Poin plus lainnya, dia punya senyum manis yang membuat ekspresi wajahnya terkesan hangat dan ramah. Dengan kata lain, laki-laki ini dengan sangat mudah bisa menyusup ke dalam daftar laki-laki-ideal-versi-Rara hanya dari penampilan luarnya saja.

Tidak, tidak.

Jangan jadi perempuan dangkal, Ra!

Perempuan itu kembali berdeham—kali ini untuk mengembalikan fokusnya. Supaya terlihat lebih meyakinkan kalau tenggorokannya memang sedikit bermasalah, dia refleks menyambar gelas kopi kekinian yang sejak tadi bertengger manis di mejanya, dan menyeruputnya. Seakan belum cukup, Rara sekaligus menyugar rambut panjang sepunggung yang sore ini dia biarkan terurai begitu saja sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

"Oke, so...." Setelah merasa lebih siap, Rara pun melanjutkan dengan tetap mempertahankan ketenangan palsunya. "Jadi, kenapa Anda mengirim bunga-bunga itu? Apalagi tanpa nama pengirim yang jelas, hanya inisial saja. Saya rasa saya berhak dapat penjelasan, bukan?"

Arga tidak langsung menjawab. Dia lebih dulu membetulkan posisi duduknya, kemudian menggaruk belakang telinga kanannya. Dilihat dari kaca mata apa pun, laki-laki itu jelas terlihat sedikit gugup.

"Sebelumnya saya minta maaf kalau kiriman bunga itu mengganggu Bu Safira...."

"Safira saja," sela Rara tak acuh, walau dia sempat kaget sendiri mendengar nada bicaranya yang sok cuek itu. "Atau Rara. Tidak perlu pakai embel-embel lain."

Selaan itu rupanya cukup untuk membuat Arga tertawa kecil. Dia tak mengira Rara akan membalasnya dengan begitu cepat. Thanks to it, perasaan tegangnya jadi sedikit mencair.

"Ah sori...." Arga sedikit menutup mulutnya dengan jari sewaktu mengucapkan ini. Perlu waktu tiga detik baginya untuk memulihkan ketenangannya. "Oke, Safira—Rara.... Langsung saja. Sebelumnya saya minta maaf karena selama dua minggu ini terus mengirim bunga tanpa nama jelas. Tapi saya punya alasan untuk itu—yang akan saya jelaskan kapan-kapan. Yang pasti, sore ini saya memberanikan diri untuk datang ke sini, dan...."

Kata-kata itu menggantung di sana, membuat Rara mengangkat sebelah alisnya dan melempar tatapan cepat-bilang-atau-keselamatanmu-terancam pada Arga.

"Dan? Poinnya adalah?"

Sentimental Affogato (Gerha Purana Series: Retelling of Roro Jonggrang)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن