Chapter 3. Intention

1.7K 242 18
                                    

"Besok Adek bawa Papa ketemu sama orang yang udah mukul Adek ya?" Selesai mengoleskan antiseptik ke luka-luka sang anak sambil menahan emosi, Shotaro menatap Anton dalam-dalam, yang di luar dugaan, justru mengalihkan pandangannya ke bawah.

Kepalanya menggeleng, tidak setuju dengan ide yang disampaikan barusan.

"I don't want you to get hurt too, Papa."

Sohee yang sedari tadi hanya mengamati tindak-tanduk sepasang ayah dan anak itu mendadak ikut bicara, "Iya Om, keluarganya Hani agak gila soalnya."

Sehelai plester aid bergambar dino melekat ke hidung mancung Anton. Shotaro menangkup kedua pipi tembam anaknya, mengangkatnya sedikit hingga wajah tampan itu tak lagi tertunduk lalu menorehkan kecupan manis pada luka yang kini tertutup.

Baru setelahnya, lelaki dewasa yang ada di sana menatap dengan dahi berkerut perihal kalimat yang diutarakan Sohee, "Gila gimana?"

"Gitulah pokoknya Om, tipe keluarga yang menyelesaikan segala masalah dengan uang."

"Oh," respon Shotaro singkat. Di bibirnya tidak tersemat sedikit pun senyum, tidak seperti biasanya. Dan tentu saja hal tetsebut membuat Anton khawatir, "Papa nggak takut."

Kekhawatiran Anton beralasan. Pasalnya, Shotaro, meskipun orang-orang di sekitarnya mengenal ia sebagai sosok yang lembut dan terlampau baik hati, dia bisa menjadi seseorang yang mengerikan dan nekat jika berhubungan dengan orang-orang yang ia cintai.

Anak itu masih ingat waktu ia masih duduk di bangku taman kanak-kanak, dirinya hampir keracunan susu yang sudah basi. Shotaro dengan cepat memanggil jajaran petinggi sekolah dan melayangkan komplain bahkan tidak segan untuk melibatkan polisi. Untungnya pihak sekolah cepat tanggap dan kooperatif hingga berhasil menelusuri siapa yang paling bertanggungjawab atas insiden tersebut serta memberikan hukuman yang sesuai.

Anton kini tersadar, walaupun dirinya tidak bersalah tetapi menghindari konflik dengan orang-orang kaya yang semena-mena adalah jalan terbaik untuk membuat hidup lebih damai.

"No, Pa. Please? Adek nggak mau masalahnya jadi melebar."

Melihat sang buah hati memohon sampai sebegitunya tentu saja membuat hatinya mencelos, tetapi rasa sakit yang dirasakan saat melihat wajah Anton yang penuh luka tidak akan memudar sebelum mereka mendapat balasan setimpal.

"Gimana kalo kamu disakitin lagi? Papa cuma punya kamu!" Tanpa disadari nada suara Shotaro meninggi.

"Begitu pula aku yang cuma punya Papa!"

Shotaro meletakkan kotak P3K yang sedari tadi dipangkunya ke lantai. Bola mata sang anak yang berkaca-kaca meluluhkannya dalam sekejap. Anton benar, mereka hanya memiliki satu sama lain. Jika terjadi hal yang buruk pada salah satu di antara mereka, yang lain hanya akan berakhir sendirian. Membayangkannya saja membuat Shotaro hampir menangis.

Lengan Shotaro terbuka lebar dan tidak butuh waktu lama bagi Anton untuk mengetahui apa maksudnya. Ia beringsut, menyamankan dirinya dalam dekapan tempat teraman di dunia. Shotaro mengusap-usap rambut hitam tebal Anton saat merasakan bajunya basah. Dan air matanya sendiri menyusul jatuh, meluapkan emosi.

Sohee memandangi adegan di depannya dengan trenyuh. Ia menatap ke sekeliling, mencari sesuatu. Ada kotak tisu di meja depan televisi. Anak itu mengambilnya dan menyodorkan dengan hati-hati ke depan Shotaro.

"Makasih banyak, um..." Shotaro menarik sehelai tisu untuk menghapus air matanya, berusaha tersenyum pada anak SMA di depannya.

"Nama aku Sohee, Om," jawabnya. Untung saja dia peka.

Home Is Where The Heart Is (SUNGTARO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang